JAKARTA, KOMPAS — Adanya aturan persyaratan kinerja dalam liberalisasi investasi yang sedang dijajaki Indonesia-Uni Eropa pada Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif berpotensi merugikan Indonesia. Pemerintah diharapkan punya komitmen yang jelas dalam mereservasi sektor-sektor investasi yang sensitif dan strategis serta penting bagi masyarakat Indonesia.
Hal itu disampaikan Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Rachmi Hertanti dalam diskusi dengan media di Jakarta, Kamis (19/7/2018). Koalisi ini terdiri atas beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Indonesia for Global Justice, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Konfederasi Perjuangan Rakyat Indonesia, dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.
Pernyataan tersebut merupakan salah satu catatan yang disampaikan koalisi kepada delegasi negosiator Indonesia di sela-sela perundingan kelima Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa di Brussels, Belgia, pada 9 Juli 2018.
”Komitmen yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki beberapa prioritas dan juga beberapa sektor yang seharusnya perlu ditutup pemerintah. Jadi, tidak membuka akses itu terhadap investor asing sampai 100 persen,” ujarnya.
Rachmi menjelaskan, dalam aturan persyaratan kinerja itu, kedua belah pihak dilarang menerapkan aturan yang membebankan investor asing. Aturan yang dilarang, antara lain pembatasan modal asing, jumlah transaksi, volume ekspor dan impor barang dan jasa; serta larangan penggunaan tenaga kerja lokal, transfer teknologi, dan penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
”Beberapa larangan itu bertentangan dengan kebijakan dalam negeri, seperti Perpres TKDN dan beberapa aturan terkait industri kita. Bahkan, komisi Uni Eropa juga akan menambah daftar larangan itu. Ini akan sangat memberatkan Indonesia,” katanya.
TKDN adalah jumlah minimal kandungan komponen produksi dalam negeri pada suatu produk asing yang dirakit di Indonesia. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kebijakan Industri Nasional Tahun 2015-2019. Penerapan aturan ini diharapkan bisa meningkatkan serapan bahan baku dari dalam negeri dan mengurangi impor.
Rachmi melanjutkan, jika aturan itu disepakati, kemudian diterapkan, kebijakan pemerintah untuk mendorong daya saing, diversifikasi produk ekspor, ataupun daya tambah produksi akan semakin lemah.
”Kerja sama ekonomi ini kan semestinya bermanfaat bagi kedua belah pihak, tapi ternyata larangan ini membebankan Indonesia. Tentu ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia sendiri,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice itu.
Selain soal aturan dan komitmen liberalisasi investasi, aturan soal perlindungan investor asing juga disorot koalisi. Koalisi memandang pemerintah tidak perlu memasukkan aturan dan komitmen spesifik tentang perlindungan investor, termasuk ketentuan mekanisme penyelesaian sengketa dalam bentuk investor-state dispute settlement (ISDS).
Dalam praktiknya, kata Rachmi, aturan perlindungan investor asing hanya akan membuka peluang bagi investor untuk menggugat Indonesia di arbitrase internasional dan membayar kompensasi kerugian investor hingga miliaran dollar AS.
”Kita sudah punya pengalaman digugat seperti kasus Rafat Ali Rizfi terkait Bank Century, Churchill Mining, Newmont, Indian Metals and Ferro Alloys, dan Oleovest Ltd. Kita menolak segala bentuk mekanisme penyelesaian sengketa di bidang investasi, khususnya yang berbentuk ISDS,” ujarnya.
Menanggapi soal liberalisasi investasi, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Shinta Kamdani optimistis bahwa negosiator Indonesia tidak akan gegabah mengambil keputusan. Menurut dia, negosiator Indonesia sangat berhati-hati dalam memberikan kesepakatan dan tidak mungkin bertentangan dengan perundangan yang berlaku. Meski demikian, ia mengerti bahwa Indonesia juga perlu kompetitif dalam menjadi tujuan investasi.
”Tapi ini semua masih too early to say karena saat ini Indonesia baru menyerahkan offer dan jalan masih panjang. Kami sudah memberikan masukan kepada pemerintah melalui stakeholderconsultation report dari 70 sektor usaha untuk EU CEPA ini,” katanya. (E04)