JAKARTA, KOMPAS - Penambahan subsidi energi untuk bahan bakar minyak dan listrik tanpa mengubah APBN 2018 harus transparan. Rincian sumber penerimaan, realokasi pengeluaran, serta mekanisme penyaluran subsidi penting untuk menutup celah korupsi dan menjaga kepercayaan pasar.
Pemerintah menambah subsidi energi senilai total Rp 163,5 triliun. Subsidi meningkat Rp 69 triliun atau 73 persen, dari semula Rp 94,5 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Tambahan subsidi akan dialokasikan dari belanja nonkementerian dan lembaga.
Direktur Jenderal Keuangan Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, keputusan menambah subsidi energi tanpa mengubah APBN 2018 berlandaskan hukum Pasal 16 UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN. Pemberian subsidi energi berbasis realisasi sehingga dapat disesuaikan apabila asumsi makro dan parameternya berubah.
“Pemerintah berkomitmen selalu menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Kinerja APBN diaudit BPK setiap tahunnya,” kata Askolani yang dihubungi Kompas, Rabu (18/7/2018).
Total alokasi subsidi energi yang sebesar Rp 163,5 persen itu terdiri dari subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 103,48 triliun dan listrik Rp 59,99 triliun. Kendati tambahan subsidi telah diputuskan, pemerintah belum merinci secara detail sumber pembiayaan subsidi.
Menurut Askolani, subsidi energi antara lain mengandalkan proyeksi peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak penghasilan dari sektor migas akibat kenaikan harga minyak dunia. PNBP tahun 2018 diperkirakan naik dari target Rp 275,4 triliun menjadi Rp 349,2 triliun. Adapun penerimaan perpajakan diproyeksikan Rp 1.548,5 triliun.
“Windfall dari sisi penerimaan PNBP dan PPh migas bisa kita manfaatkan untuk subsidi,” katanya.
Terkait mekanisme subsidi, lanjut Askolani, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) dapat mengajukan tagihan ke pemerintah melalui skema verifikasi. Tagihan yang sudah terverifikasi akan dilunasi pada triwulan selanjutnya. Tambahan subsidi energi penting demi menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan stabilitas ekonomi nasional.
Transparan
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono mengatakan, penerimaan negara dari kenaikan harga minyak seharusnya digunakan untuk menjaga kenaikan harga BBM domestik. Subsidi dapat diperoleh dari dana hasil pemotongan anggaran Kementerian/Lembaga.
“Jadi prinsipnya ini realokasi anggaran,” kata Tony.
Oleh karena itu, kata Tony, APBN 2018 sudah pasti harus diubah agar pengelolaan anggaran transparan. Pemerintah masih punya waktu sampai akhir Juli 2018. Keputusan tidak mengubah APBN 2018 lebih untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Harga BBM menjadi komoditas politik yang cukup sensitif dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Kebijakan subsidi energi harus konsisten baik dari aspek besaran dan jangka waktu. Pemberian subsidi dimungkinkan berlanjut hingga 2019 karena tahun politik, kecuali negara-negara anggota OPEC menaikkan produksi agar harga minyak turun. Menurut Tony, jika harga minyak kurang dari 50 dolar AS per barrel, subsidi bisa dihilangkan.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, menambahkan, perubahan besaran subsidi muncul akibat konsekuensi logis perubahan asumsi makro, yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan harga minyak dunia.
Harga minyak mentah dunia, mengutip laman Bloomberg, Rabu malam, sebesar 67,47 dollar AS per barrel untuk jenis WTI dan 71,71 dollar AS per barrel untuk jenis Brent. Adapun nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa, sebesar Rp 14.406 per dollar AS.
Selain BBM, pemerintah juga memutuskan tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2019. Konsekuensi dari keputusan itu, pemerintah harus menambah subsidi kepada PT PLN (Persero) yang juga dibebani target meningkatkan rasio elektrifikasi. Pada 2018, target rasio elektrifikasi 97,5 persen dan 99 persen tahun 2019.