JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak petani di daerah memiliki akses terbatas untuk menjual produk mereka. Inovasi digital di bidang pertanian dibutuhkan untuk menghubungkan langsung petani dan calon pembeli.
Staf Hubungan Masyarakat PT 8villages Indonesia Pebri Pohan, dalam kunjungan ke Redaksi Kompas di Jakarta, Jumat (20/7/2018), mengatakan, petani terkadang tidak tahu harus menjual ke mana produk mereka. Pasar yang mereka ketahui berada di kota besar.
PT 8villages Indonesia adalah perusahaan rintisan teknologi informasi (TI) yang fokus pada percepatan modernisasi wilayah perdesaan.
”Kondisi itu membuat rantai alir hasil tani menjadi panjang dan melalui tengkulak,” kata Pebri. Proses penjualan yang panjang membuat petani mau tak mau harus mematok harga jual yang rendah agar barang dapat mencapai pasar dengan harga terjangkau.
Meningkatnya jumlah pengguna dan akses internet membuat petani kini dapat berinteraksi dengan dunia digital. Petani dapat menjual produk mereka melalui dunia maya.
”Kami mencoba memberdayakan petani desa dengan membangun situs e-dagang, RegoPantes,” kata Pebri. Situs itu menjadi platform bagi petani untuk memasarkan barang mereka langsung kepada calon pembeli yang mengakses.
Ia mencontohkan, penjualan avokad mentega asal Soe, Nusa Tenggara Timur, kini dapat mencapai 1,09 ton dalam dua bulan setelah menggunakan platform itu. Avokad itu dijual ke wilayah Jabodetabek.
Jika biasanya avokad itu hanya laku Rp 2.000 per kilogram di desa, sekarang buah itu dapat terjual Rp 38.500 per kilogram. Pembayaran pun langsung masuk ke kantong petani.
Staf Hubungan Masyarakat PT 8villages Indonesia Yulien Lovenny Ester Gultom menambahkan, selesai memesan, petani mengumpulkan hasil tani di satu titik yang telah disetujui di daerah masing-masing. ”Biasanya produk sudah tiba di depan pintu konsumen pada Jumat,” katanya.
Konsultasi
Selain mencari pasar, terdapat berbagai masalah yang masih harus dihadapi oleh para petani dalam mengembangkan usaha pertanian mereka. Mereka masih belum mampu mengelola keuangan hasil tani, tidak mengetahui harga pokok penjualan (HPP), dan tidak memperoleh harga jual yang layak karena melalui tengkulak.
”Kami membangun aplikasi untuk sosialisasi pendidikan bagi petani, yaitu petani,” kata Pebri. Aplikasi itu bertujuan untuk membantu petani bertukar informasi dengan sesama petani ataupun pakar dalam bertani. Petani juga dapat mengetahui referensi harga hasil panen.