JAKARTA, KOMPAS – Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan naik tipis hingga akhir tahun ini. Sektor manufaktur perlu terus diperbaiki untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan selain menarik investasi.
“Untuk pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini kami proyeksikan 5,14 persen, sedikit lebih tinggi dari tahun lalu. Perekonomian saat ini masih didorong komoditas, sementara kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto masih berkontribusi terbesar, namun belum pulih sepenuhnya,” kata Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina, Kamis (19/7/2018), di Jakarta.
Hingga akhir Maret lalu, dari pertumbuhan ekonomi 5,06 persen, sektor manufaktur menyumbang satu persen. Pada triwulan sebelumnya, dari pertumbuhan 5,19 persen, kontribusi sektor manufaktur sebesar 0,9 persen. Demikian kontribusi sektor manufaktur pada triwulan sebelumnya sebesar satu persen.
Menurut Dian, pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu ditopang sektor yang berkelanjutan, yakni manufaktur. Sebab sektor manufaktur memberikan nilai tambah, bisa menyerap banyak tenaga kerja, serta berorientasi ekspor, semisal industri tekstil dan otomotif. Sementara, jika hanya ditopang komoditas, ketika harganya jatuh, pertumbuhan ekonomi pun langsung terpengaruh.
Pertumbuhan investasi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi mayoritas terkait infrastruktur, seperti konstruksi. Namun, kebanyakan investasi tersebut berorientasi pasar domestik, bukan ekspor.
“Agar dana masuk, sektor pariwisata memang relatif paling mudah dikembangkan dibanding menyiapkan sektor manufaktur. Namun ini harus digarap serius, tidak hanya membangun fisik, tetapi juga melatih masyarakat,” ujar Dian.
Terkait dengan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, industri di Indonesia perlu mengantisipasinya. Sebab, ada kemungkinan China akan mencari pasar baru di negara berkembang untuk mengalihkan ekspornya. Di sisi lain, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sekitar 10 persen dari total ekspor. Lalu sekitar 10 persen ekspor Indonesia yang mendapat fasilitas pemotongan bea masuk (GSP) dari Amerika Serikat, seperti tekstil, kayu lapis, dan produk perikanan. Meskipun hal itu masih akan dievaluasi, namun industri terkait perlu mencari kemungkinan pasar baru.
Terkait dengan keputusan Bank Indonesia yang tetap mempertahankan suku bunga acuan BI di 5,25 persen, menurut Dian, hal itu disambut positif. Sebab, saat ini volatilitas rupiah tidak setajam beberapa waktu lalu. Meski demikian, tetap diperlukan keceermatan karena ketidakpastian global masih tinggi.
Pada kesempatan itu, ASEAN Head of Global Market Research MUFG Bank Ltd Leong Sook Mei mengatakan, jika tahun lalu Presiden AS Donald Trump banyak mengambil kebijakan domestik, kemudian pada tahun ini, Presiden AS lebih banyak mengambil kebijakan terkait negara lain, seperti menerapkan tarif impor terhadap produk-produk asal China. Meskipun hal itu menimbulkan ketidakpastian global karena bisa merembet ke negara-negara lain, namun Sook Mei melihat adanya kemungkinan negosiasi kembali antara AS dengan China. (NAD)