Perlu Langkah Antisipasi
JAKARTA, KOMPAS--Antisipasi pergerakan arus modal dan perubahan pola perdagangan dunia sangat dibutuhkan di tengah ketidakpastian global yang meningkat. Investasi perlu diperkuat dengan meningkatkan daya tarik pasar keuangan. Selain itu, lobi perdagangan perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi hambatan perdagangan.
Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/7/2018), menyebutkan, ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan ketidakpastian global terus berlanjut dan perang dagang Amerika Serikat-China akan mereduksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5 persen pada 2020. IMF juga menyebutkan, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan China akan melambat pada 2018 dan 2019.
Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani kepada Kompas, Jumat (20/7/2018), mengatakan, Indonesia perlu melakukan dua hal, yaitu mengantisipasi pergerakan arus modal dan perubahan pola perdagangan dunia. Selama ini, pergerakan arus modal di dunia telah menyebabkan rupiah terdepresiasi.
Untuk mengatasinya, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI atau BI 7-day Reverse Repo Rate dan mengintervensi pasar valas. Saat ini, suku bunga acuan BI 5,25 persen.
“Kenaikan itu tetap harus dievaluasi efektivitas dan dampaknya terhadap perekonomian,” ujarnya.
Menurut Dendi, perubahan pola perdagangan dunia juga dapat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Perubahan pola perdagangan itu, misalnya, kebijakan proteksionisme AS -yang dapat mengurangi akses pasar Indonesia- dan perang dagang AS-China.
“Indonesia harus bisa mengantisipasi perubahan pola perdagangan dunia, baik lewat lobi ke negara tujuan ekspor, mencari pasar baru, mengembangkan produk baru, maupun meningkatkan daya saing ekspor,” ujar Dendi.
Untuk menarik investor asing, BI tidak hanya menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin atau satu persen dalam dua bulan terakhir. BI juga berupaya membuat pasar keuangan di dalam negeri lebih menarik dengan mereaktivasi Sertifikat BI dan meningkatkan kredibilitas suku bunga referensi pasar uang melalui IndONIA.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsyah mengatakan, BI sudah mengakaji IndONIA sejak tahun lalu. IndONIA dibentuk sebagai patokan suku bunga overnight dari transaksi di Pasar Uang Antarbank.
Patokan suku bunga itu akan dijadikan acuan untuk valuasi kontrak derivatif suku bunga, khususnya Overnight Index Swap (OIS) dan Interest Rate Swap (IRS).
Suku bunga transaksi OIS, dari 7 hari sampai dengan 12 bulan, akan menjadi acuan kurva imbal hasil pasar uang yang kredibel.
“Memang tidak akan langsung berdampak pada investasi, tetapi lebih untuk membentuk patokan suku bunga untuk seluruh tenor, khususnya 1 bulan ke atas. Patokan 1 bulan ke atas itu sangat penting untuk acuan suku bunga deposito dan kredit,” ujarnya.
Terendah tahun ini
Data perekonomian AS yang membaik berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan BI belum memberi tenaga bagi rupiah untuk keluar dari tekanan dollar AS.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat, rupiah berada di posisi terendah tahun ini, yakni Rp 14.520 per dollar AS.
Pada 29 September 2015, nilai tukar rupiah sempat Rp 14.728 per dollar AS.
Sementara, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan ini juga melemah hingga 1,2 persen. Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG berada di level 5.872,78. Sejak awal tahun ini, IHSG melemah 7,6 persen.
Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, mengatakan, pelemahan rupiah hingga level Rp 14.500 per dollar AS sudah masuk dalam ekspektasi pelaku pasar. Sebab, pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, The Fed, Jerome Powell, beberapa waktu lalu mengindikasikan agresivitas kenaikan suku bunga acuan The Fed.
“Powell menyiratkan potensi kenaikan suku bunga The Fed sebanyak dua kali lagi di sisa tahun ini, meskipun tidak menyampaikan secara detail kebijakan moneternya,” kata Reza.
Untungnya, lanjut Reza, kesiapan pelaku pasar dalam mengantisipasi pelemahan rupiah dapat meredam gejolak di pasar saham Indonesia.
Dalam pidatonya di hadapan komite perbankan dan senat AS, Powell mengatakan kondisi perekonomian AS tumbuh lebih kuat dari yang diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, Bank Sentral AS mendukung kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut tahun ini.
Analis Paramita Alfa Sekuritas, William Siregar, menilai pelemahan rupiah tidak akan signifikan jika neraca perdagangan domestik mampu surplus. Pada Januari-Juni 2018, neraca perdagangan RI defisit 1,021 miliar dollar AS.