JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan memastikan tidak akan mengeluarkan surat persetujuan berlayar apabila diketahui akan ada cuaca buruk dan gelombang tinggi terjadi di perairan yang akan dilewati.
”Ramalan cuaca sudah mengatakan gelombang tinggi akan terjadi selama seminggu ke depan dan puncaknya akan terjadi pada 24-25 Juli. Apabila memang kami anggap membahayakan, kami tidak akan memberikan persetujuan berlayar,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat jumpa pers soal cuaca di Jakarta, Minggu (22/7/2018).
Kepastian ini disampaikan mengingat sudah lima kecelakaan kapal terjadi selama satu bulan terakhir akibat gelombang tinggi. Kecelakaan itu terjadi di Selayar, Jember, Banten, Kendari, dan Banten.
”Masalah cuaca ekstrem ini harus dipahami semua pihak bahwa yang utama adalah keselamatan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika setiap saat memberikan laporan ramalan cuaca dan memperingatkan apabila ada potensi bahaya. Dan, selama sepekan ke depan, cuacanya cukup berbahaya,” tutur Budi Karya.
Masalah cuaca ekstrem ini harus dipahami semua pihak bahwa yang utama adalah keselamatan.
Dia juga mengatakan, Kementerian Perhubungan juga akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang mengalami cuaca paling ekstrem sehingga membuat nelayan tidak bisa melaut.
”Kami akan menyiapkan program-program padat karya sehingga bisa memberikan pendapatan bagi nelayan yang tidak bisa melaut. Mengenai programnya seperti apa, akan dibicarakan dengan pemda setempat,” ujar Budi Karya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini Indonesia masuk ke dalam kondisi yang terpengaruh perubahan iklim global. ”Akibatnya, sering terjadi anomali cuaca, siklon tropis sering terjadi, dan gelombang bisa mencapai ketinggian 6 meter. Perubahan ini berbeda dengan yang biasa terjadi sehingga masyarakat tidak siap,” ucapnya.
Perubahan cuaca ini sudah dirasakan sejak Mei dan akan mencapai puncaknya pada 24-25 Juli, kemudian berangsur turun. Perubahan ini terjadi karena ada tekanan udara yang sangat tinggi di Pulau Madagaskar, sementara di Pasifik tekanan udara sangat rendah.
Udara mengalir dari Afrika menuju Pasifik. Namun, karena menabrak Australia, udara berbelok ke arah Indonesia. Oleh karena itu, daerah-daerah yang terkena dampaknya adalah daerah-daerah yang berada di tepi Samudra Hindia, yakni Sumatera, Jawa, hingga Nusa Tenggara.
Selain itu, karena saat ini matahari berada di belahan bumi utara, angin pun bergerak kencang dari selatan ke utara. ”Kondisi yang menciptakan gelombang tinggi,” kata Dwikorita.
Setelah melewati puncaknya bulan Juli ini, tekanan akan menurun, menjauhi bibir pantai, tetapi masih tetap tinggi. ”Bulan Oktober nanti baru akan jauh dari pantai, tetapi tinggi gelombang masih mencapai 4 meter. Kalau untuk kapal nelayan dan tongkang, gelombang 4 meter ini masih berbahaya,” lanjutnya.
Sementara Direktur Jenderal Perhubungan Laut Agus H Purnomo mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan maklumat pelayaran untuk satu pekan ke depan.
Selain memperingatkan nakhoda kapal, kami juga memperingatkan semua kepala syahbandar dan otoritas pelabuhan untuk melarang kapal-kapal berlayar saat cuaca buruk.
”Selain memperingatkan nakhoda kapal, kami juga memperingatkan semua kepala syahbandar dan otoritas pelabuhan untuk melarang kapal-kapal berlayar saat cuaca buruk,” ujar Agus.
Ia juga meminta semua kapal patroli dan penjagaan pantai bersiaga untuk memberikan pertolongan apabila ada hal buruk terjadi.