Tanpa APBN-P, Subsidi Jadi Rp 228,1 Triliun
JAKARTA, KOMPAS--Alokasi tambahan subsidi tidak cukup mengandalkan proyeksi peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan pajak penghasilan dari sektor minyak dan gas. Kekurangan dana dikhawatirkan kembali dibebankan kepada BUMN penyalur subsidi.
Tahun ini, tambahan subsidi dialokasikan pemerintah tanpa mengubah APBN 2018.
Total subsidi meningkat Rp 71,9 triliun atau 46 persen, dari semula Rp 156,2 triliun menjadi Rp 228,1 triliun. Rinciannya, subsidi energi meningkat 73 persen dari Rp 94,5 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Sementara, subsidi non-energi meningkat 4,7 persen dari pagu Rp 61,7 triliun menjadi Rp 64,6 triliun.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono kepada Kompas, Senin (23/7/2018), mengatakan, keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia tidak cukup untuk menambal pembengkakan subsidi secara total.
Keuntungan dari kenaikan harga itu seharusnya digunakan untuk menjaga agar harga bahan bakar minyak (BBM) domestik tidak naik.
“Pilihannya hanya dua, yakni subsidi dengan perubahan APBN 2018 atau dibebankan ke BUMN penyalur subsidi,” kata Tony.
Tambahan subsidi dikhawatirkan kembali dibebankan ke BUMN penyalur, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Padahal, subsidi mestinya menjadi beban APBN, bukan BUMN. Sebab, kesehatan keuangan perusahan harus tetap dijaga. Kondisi semakin rumit di tengah peningkatan ketidakpastian global yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi BUMN.
Menurut Tony, keputusan pemerintah yang tidak mengubah asumsi makro harga minyak dunia dalam APBN 2018 akan berdampak pada RAPBN 2019. Subsidi masih harus ditambah karena harga minyak dunia diprediksi terus naik, kendati Amerika Serikat telah mendesak organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) agar harga minyak turun.
Harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam asumsi dasar makro APBN 2018 jauh dari kondisi riil saat ini. Dalam asumsi makro APBN 2018, harga minyak diasumsikan 48 dollar AS per barrel. Sementara, nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar AS.
Berdasarkan data di laman Bloomberg, Senin malam, harga minyak mentah dunia jenis WTI sebesar 68,85 dollar AS per barrel, sedangkan jenis Brent seharga 73,66 dollar AS per barrel.
Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Dollar Rate kemarin sebesar Rp 14.454 per dollsr AS.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR, Senin, mengatakan, sejauh ini penerimaan pajak dari migas paling memungkinkan untuk menambah subsidi. Sebab, kenaikan pendapatan negara dari penerimaan pajak dan bea cukai kurang optimal pada 2018.
“Tidak ada realokasi anggaran. Pemerintah akan lebih fokus meningkatkan penerimaan agar APBN tetap sehat,” kata Askolani.
Perbaiki distribusi
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, masalah subsidi bukan hanya pengelolaan anggaran, namun juga penyaluran barang dan pemutakhiran data. Subsidi yang seharusnya untuk penduduk miskin seringkali tidak tepat sasaran.
Ia mencontohkan, distribusi elpiji 3 kilogram (kg) dengan sistem terbuka. Tambahan subsidi tidak berdampak jangka panjang jika target penerima dan penyaluran belum jelas.
Di sisi lain, subsidi elpiji 3 kg akan ditambah untuk tahun anggaran 2019. Volume elpiji 3 kg pada 2019 diusulkan sebanyak 6,825 juta ton-6,978 juta ton. Tahun ini, elpiji 3 kg yang dialokasikan 6,45 juta ton, sedangkan realisasi volume elpiji 3 kg tahun lalu 6,305 juta ton. (Kompas, 9/7/2018).
“Perbaikan distribusi subsidi dimulai dari data target penerima. Selama ini, masalah terbesar bukan pada komitmen pemerintah, tetapi implementasinya,” kata Enny.
Selain distribusi elpiji 3 kg, menurut Enny, data penerima subsidi listrik juga harus divalidasi ulang.