Kebijakan merelaksasi rasio pinjaman terhadap aset telah diumumkan Bank Indonesia. Bank yang memenuhi syarat dibebaskan menentukan besaran uang muka kredit pemilikan rumah untuk pembelian rumah pertama.
Bagi regulator, sektor properti dipilih karena dinilai masih berpotensi meningkatkan pembiayaan. Diharapkan, hal itu bisa menstimulasi penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) agar bisa tumbuh 14 persen per akhir tahun ini.
Pelonggaran KPR untuk pembelian rumah pertama memang beralasan. Sebab, baik saat kinerja sektor properti sedang naik maupun turun, selalu ada orang yang membeli rumah pertama atau rumah untuk dihuni. Bahkan, pada saat pasar properti lesu, investor menahan dana atau mengalihkan investasi ke sektor lain, namun pembeli rumah pertama tidak berkurang.
Sektor properti bernilai strategis. Sebab, sektor ini terkait dengan 174 industri lain, seperti besi, semen, dan mebel. Jika kinerja sektor properti positif, maka industri lain juga akan terkena dampaknya.
Bagi pengembang, relaksasi rasio pinjaman terhadap aset merupakan salah satu dorongan positif di sektor properti. Mereka mendapat ruang yang lebih lebar untuk membuat skema pembiayaan, terutama terkait uang muka untuk menarik konsumen. Salah satu hal yang memberatkan konsumen pembeli rumah pertama adalah pembayaran uang muka.
Meski demikian, relaksasi rasio pinjaman terhadap aset bukan satu-satunya penentu naik atau turunnya sektor properti. Kebijakan tersebut berada di sisi hilir dalam rantai pasok properti. Kebijakan itu juga hanya terkait dengan perbankan. Sementara, industri properti dari hulu ke hilir menyangkut soal pertanahan, tata ruang dan wilayah, perundang-undangan, regulasi pemerintah daerah, infrastruktur dasar, serta perpajakan.
Di sisi lain, pangsa pasar yang kini menopang industri properti berkembang dari waktu ke waktu. Ketika sektor properti ikut menikmati puncak harga komoditas pada 2013, produk properti untuk kepentingan investasi segmen menengah ke atas laris diburu konsumen. Harga properti terkerek naik.
Kemudian, sejak 2014, kinerja sektor properti turun seiring harga komoditas yang anjlok. Permintaan dari segmen menengah atas yang sebelumnya banyak disasar, ikut turun drastis. Akan tetapi, dalam kondisi apa pun, permintaan rumah pertama seakan tidak tergoyahkan. Calon pembeli rumah pertama kebanyakan memanfaatkan KPR perbankan. Pengguna KPR ini sekitar 75,8 persen dari total pembeli rumah, menurut survei Bank Indonesia per Maret lalu.
Sebagian besar pembeli rumah pertama adalah keluarga muda dengan penghasilan terbatas. Harga rumah yang diminati di bawah Rp 1 miliar. Maka, banyak pengembang besar yang masuk ke segmen menengah ke bawah karena potensi pasar yang demikian besar.
Pasar rumah subsidi juga tetap besar. Dari angka kekurangan rumah yang diklaim masih sekitar 11,4 juta rumah, sebagian besar merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, berbeda dari rumah komersial, rumah subsidi lebih tergantung pada regulasi pemerintah. Sebab, suku bunga KPR maupun harga jual rumah ditentukan pemerintah.
Melihat berbagai hal itu, sektor properti sebagai penghela perekonomian perlu peran banyak pihak. Jika melihat pasar properti, khususnya segmen menengah ke bawah yang tetap terjaga meskipun kondisi ekonomi turun, maka pantas jika insentif, deregulasi, atau relaksasi ditujukan ke sektor ini. Yang mesti dipastikan, semua bisa benar-benar diterapkan. Sebab, seringkali kebijakan pemerintah pusat tidak efektif karena pemerintah daerah tidak mengakomodasi ke dalam peraturan daerah. Jika hanya satu kebijakan -tanpa dukungan pihak lain- hasilnya tentu tidak akan sesuai harapan.