JAKARTA, KOMPAS – Terjadinya kecelakaan kerja secara beruntun di sektor konstruksi beberapa waktu lalu menjadi pembelajaran untuk meningkatkan aspek keselamatan kesehatan kerja atau K3 di sektor konstruksi. Selain menambah tenaga ahli K3 melalui uji sertifikasi, pemerintah mensyaratkan pembuatan komponen biaya K3 dalam mengikuti proses lelang.
“Bisa dikatakan tenaga ahli K3 kita sangat kurang. Beberapa kali saya bertemu dengan kontraktor besar. Salah satu keluhannya, mereka sulit mendapatkan tenaga ahli K3. Sertifikasi ini menjadi salah satu solusinya,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin di sela kegiatan Penandatanganan Komitmen K3 Konstruksi dan Sertifikasi Ahli K3 Konstruksi, Rabu (25/7/2018), di Jakarta.
Saat ini, jumlah total tenaga kerja konstruksi itu mencapai 8,1 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 6 juta orang termasuk tenaga terampil dengan pendidikan sebagian besar adalah sekolah menengah tingkat pertama (SMP) atau sekolah menengah tingkat atas (SMA). Sisanya merupakan tenaga konstruksi yang mengenyam pendidikan sarjana.
Dari jumlah itu, tidak serta merta tenaga konstruksi memiliki sertifikat sebagai tenaga ahli. Saat ini, jumlah sertifikat tenaga ahli yang sudah dikeluarkan sekitar 234.000 buah sertifikat. Sertifikat tenaga ahli itu masih terdiri dari beragam keahlian, seperti ahli beton, ahli listrik, termasuk ahli K3 di dalamnya. Selain itu, terdapat tingkatan tenaga ahli, yakni muda, madya, dan utama.
Meskipun jumlah sertifikat yang diterbitkan mencapai 234.000 buah sertifikat, namun pemegang sertifikat tenaga ahli hanya 148.000 orang. Artinya, satu orang bisa memegang lebih dari satu sertifikat tenaga ahli. Adapun angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi, menurut data BPJS Ketenagakerjaan, berada pada angka 32 persen.
Syarif mengatakan, uji sertifikasi merupakan salah satu cara untuk memperbanyak tenaga ahli bersertifikat K3. Cara lainnya adalah memberikan materi K3 kepada mahasiswa jurusan teknik sehingga ketika lulus sudah berkualifikasi tenaga ahli muda untuk K3. “Secara prinsip bukan hanya persoalan sertifikasi saja, tetapi mencegah jangan sampai kecelakaan konstruksi terjadi lagi,” ujar Syarif.
Selain sertifikasi, lanjut Syarif, pemerintah memastikan proses K3 dilakukan sejak proses lelang proyek. Caranya, penyedia jasa konstruksi harus membuat biaya K3 secaara tersendiri. Selama ini biaya K3 dimasukkan ke dalam komponen biaya umum. Menurut Syarif, pihaknya telah menerbitkan surat edaran dan akan diperkuat dengan revisi peraturan menteri PUPR No 31 Tahun 2015.
Dengan demikian, untuk proyek konstruksi pemerintah yang akan mulai dilelang tahun ini sudah mensyaratkan hal itu. “Biaya K3 akan menjadi alat ukur ketika penyedia jasa menagihkan pembayaran atas pelaksanaan konstruksinya. Jadi sudah tidak ada alasan untuk tidak menganggarkan,” kata Syarif.
Direktur QHSE dan Pengembangan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, V Partha Sarathi, mengatakan, uji sertifikasi bagi jajaran direksi dan manajer penyedia jasa konstruksi merupakan upaya positif. “Jadi K3 itu bukan urusan pekerja saja, tetapi dari top management sampai ke bawah. Dengan manajemen paling atas berkomitmen untuk K3, maka yang di bawah akan mengikuti,” kata Sarathi.
Demikian pula, lanjut Sarathi, pihaknya menyambut baik ketentuan pembuatan komponen biaya K3 secara tersendiri, bukan dimasukkan ke biaya umum dalam penawaran lelang. Dengan demikian, aspek K3 lebih terjamin karena ada biayanya.
Direktur Keuangan dan SDM PT Brantas Abipraya (Persero) Suradi mengatakan, rasio ideal antara petugas K3 dengan pekerja konstruksi adalah 1 banding 25. “Namun pada praktiknya 50 orang diawasi 1 orang, bahkan sampai 100 orang. Itu kan kontrolnya sudah susah,” kata Suradi.
Menurut Suradi, adanya biaya K3 akan mendukung peningkatan sumber daya manusia terutama yang ahli K3. Namun, dengan kebutuhan tenaga K3 yang besar, perlu dipikirkan peningkatan tenaga K3 melalui pendidikan vokasi. (NAD)