JAKARTA, KOMPAS--Kendati dollar AS melemah secara terbatas, namun rupiah masih tertekan. Tekanan terhadap rupiah disebabkan pelemahan yuan dan pembelian valuta asing oleh korporasi yang meningkat.
Selasa (24/7/2018), rupiah ada di titik terlemah pada tahun ini, yakni Rp 14.541 per dollar AS berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor). Pada Rabu (25/7/2018), rupiah menguat tipis ke posisi Rp 14.515 per dollar AS berdasarkan kurs referensi Jisdor. Adapun di pasar tunai, rupiah menguat 0,48 persen.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsyah kepada Kompas mengatakan, seharusnya rupiah menguat cukup tinggi sejalan dengan pelemahan dollar AS. Namun, ada dua faktor lain yang memengaruhi, yaitu pelemahan yuan dan pembelian valuta asing (valas) oleh korporasi.
Bank Sentral China (PBoC) kembali melemahkan mata uangnya pada Selasa lalu. Hal itu menyebabkan pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Sementara korporasi membeli valas untuk membayar angsuran utang luar negeri dan impor. Hal itu merupakan siklus bulanan biasa," kata dia.
Nanang menambahkan, pelemahan dollar AS bersifat sementara. Sentimen pasar terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) AS pada triwulan II-2018 menahan pelemahan itu. Fokus pasar masih pada rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS. The Fed, yang akan dibahas dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada September dan Desember.
Ekonom PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Winang Budoyo mengatakan, pelemahan rupiah masih terseret faktor global. Hal itu terjadi karena Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan.
Banyak investor asing mempersepsikan ekonomi Indonesia masih rentan di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat. Akibatnya, banyak investor asing yang keluar dari Indonesia.
"Pada April 2018, dana asing yang keluar 1,3 miliar dollar AS, sedangkan pada Mei 2018 sedikit mereda, yakni 889 juta dollar AS," ujar Winang.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya menyebutkan, pertumbuhan ekonomi global ke depan akan dipengaruhi nilai tukar dan ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan antarnegara. Nilai tukar dan surplus neraca berjalan akan terkonsentrasi di negara-negara maju.
Saat ini, hampir separuh neraca transaksi berjalan global menunjukkan kondisi surplus atau defisit yang berlebihan. Hal itu berpotensi menambah risiko pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan tekanan perang dagang.
Nilai tukar dollar AS saat ini bernilai tinggi bagi negara-negara lain. Adapun yuan dinilai sudah sejalan dengan fundamen ekonomi, meski melemah dalam beberapa pekan terakhir akibat tekanan perang dagang dengan AS yang meningkat.
Merugikan
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo mengemukakan, perang dagang yang ditandai dengan perang tarif dan berlanjut ke perang mata uang akan merugikan banyak pihak. Sebab saat ini produksi terkoneksi melalui rantai nilai pasok global.
Bagi perekonomian nasional, kondisi itu bisa menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pelemahan rupiah yang belum mencerminkan fundamennya belum tentu mendorong ekspor. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku besar.
"Kebijakan moneter ketat akan membuat beban biaya pelaku usaha, terutama eksportir dan importir, naik. Saya khawatir kondisi itu akan menyebabkan posisi daya saing ekspor Indonesia melemah," kata dia.
Dalam kondisi demikian, optimalisasi potensi pasar lokal, khususnya berbahan baku lokal, penting.