Batik yang Mewarnai Hidup
Orang-orang muda dengan keterbatasan inteligensia ternyata mampu berkembang lewat membatik. Mereka bahkan diminta memberikan pelatihan. Hal itu menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian.
Aneka warna dan motif batik tidak hanya menghiasi kain. Di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) Kartini di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, batik juga menghias dan mewarnai kehidupan anak-anak yang dibina di lembaga itu.
Saat ini, ada tiga anak muda yang hidupnya ”dihiasi” batik. Mereka adalah Aditya Dwi Saputra (24), Sulistyani (24), dan Adin Arfianto (23). Mereka setiap hari berada di instalasi produksi dan bekerja membuat kain batik pesanan pelanggan.
Ditemui Kamis (5/7/2018), Sulis, panggilan akrab Sulistyani, lulusan SMP Luar Biasa, tampak sibuk. Sesaat dia meneteskan malam ke kain batik. Jika selesai, kain itu akan menjadi batik dengan motif bulatan-bulatan kecil yang disebut sebagai splash batik atau batik ciprat.
Sesaat berikutnya, dia bersama Adin memberi warna pada motif batik di kain lain. Sembari bekerja, mereka saling mengomentari hasil pekerjaan dan pewarnaan mereka. Sementara itu, Aditya sibuk mewarnai kain dan menjemur kain batik yang baru selesai direbus. Sesekali ia mengamati hasil kerjanya, senyum lulusan SD ini pun mengembang.
Bagi ketiga orang muda yang memiliki disabilitas intelektual, yakni kecerdasan di bawah rata-rata, kerajinan batik merupakan hal besar yang mengubah hidup. Sebelumnya, Sulis sangat rendah diri. Sebagai anak seorang guru, dia dua kali tinggal kelas di SD. Di SMPLB pun dia tetap kesulitan belajar.
”Kesulitan belajar membuat saya sangat putus asa. Sampai saya tidak berani memiliki cita-cita karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa,” ujarnya.
Titik balik terjadi tiga tahun lalu. Orangtua Sulis membawa dia untuk mengikuti program rehabilitasi dan pendidikan keterampilan di BBRSBG Kartini. Setahun terakhir, Sulis lulus program rehabilitasi. Kini, ia menjalani program pendidikan keterampilan sebagai persiapan sebelum bekerja di masyarakat.
Ada enam program yang ditawarkan. Sulis memilih batik. Alasannya, membatik bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Semula, Sulis dan kawan-kawan hanya dilatih membuat batik ciprat. Secara bertahap mereka dilatih memperkaya motif dengan membuat tambahan corak menggunakan canting mengacu pola yang ada.
Saat ini Sulis dan dua kawannya sudah terampil membatik. Semua aktivitas terkait membatik lancar dilakukan, mulai dari mewarnai kain yang semula berwarna putih, membatik, melapisi dengan pengikat warna, mencuci, merebus, menjemur hingga mengemas batik untuk selanjutnya dijual.
Adin dan Adit bahkan bisa membuat motif sendiri kemudian menuangkan dalam bentuk pola cetakan pada kayu.
Aditya yang pernah tiga kali tinggal kelas semasa SD mengatakan, kini bisa percaya diri. Beberapa kali ia diminta mengajarkan keterampilan membatik kepada orang-orang lain.
Pelatihan keterampilan membatik yang melibatkan Aditya dilaksanakan di sejumlah tempat di Jawa Tengah, seperti Magelang, Kudus, Blora, serta Gunung Kidul, DIY.
”Di empat lokasi tersebut, saya mengajarkan keterampilan membatik kepada lebih dari 40 orang,” ujarnya bangga.
Hal serupa dilakukan Sulis. Dia sudah mengajarkan keterampilan kepada lebih dari 20 orang. Rasa rendah dirinya pun lenyap. Sulis juga kerap terlibat dalam pameran hasil kerajinan dari BBRSBG.
Memberi penghasilan
Batik karya Adin, Sulis, dan Adit menjadi produk andalan BBRSBG Kartini. Kain batik karya mereka dipesan sejumlah instansi, kementerian, hingga ke seluruh Indonesia. Harga selembar kain batik Rp 110.000-Rp 115.000. Setiap hari, tiga orang itu memproduksi 3-5 lembar kain. Masing-masing dari mereka mendapatkan uang jasa Rp 15.000 per lembar kain.
Tiga orang ini juga mendapatkan penghasilan dari keterlibatan mereka menjaga pameran atau memberi pelatihan.
Aditya mengatakan, dalam sebulan ia bisa mendapatkan uang Rp 600.000-Rp 1.000.000.
”Karena sudah memiliki penghasilan, saya sekarang bisa menyisihkan uang bagi bapak saat saya pulang,” ujar warga Pathuk, Gunung Kidul, ini.
Sebagian uang, selama dua tahun, ditabung, kemudian dibelikan sepeda motor seharga Rp 7 juta.
Sulis baru terlibat setahun. Ia belum membeli apa-apa. Namun, selama setahun, dengan penghasilan yang didapatkan, dia bisa mencukupi kebutuhan sendiri tanpa merepotkan orangtua.
Usaha sendiri
Dunia batik perlahan membuka babak baru dan menjadi acuan untuk masa depan lebih cerah.
Misalnya Aditya. Setelah lulus SD dan menyadari tidak cukup pintar untuk melanjutkan ke SMP, ia memutuskan bekerja di industri mebel. Karena perusahaan tempatnya bekerja tutup, dia pun menganggur. Semula Aditya bercita-cita bekerja di bengkel. Setelah mengenyam program pelatihan di BBRSBG dan memiliki keterampilan membatik, cita-cita kerja di bengkel pun dibuang jauh.
”Ke depan, saya berencana membuka usaha batik sendiri,” ujarnya mantap.
Usaha batiknya akan dimulai setelah program yang diikuti saat ini berakhir pada Desember mendatang. Sebagai persiapan, Aditya mulai menyusun rencana, mencari orang, warga desa dan sekitarnya, yang berminat bekerja di usaha yang akan ia dirikan.
Menumbuhkan semangat
Instruktur BBRSBG di kelas batik, Hanung Faris Fahrudin, mengatakan, bagi tiga anak tersebut, jenis batik yang diajarkan di instalasi produksi berperan besar dan mengajarkan lebih dari sekadar kepekaan rasa seni.
Batik ciprat di BBRSBG membuat Aditya, Sulis, dan Adin lebih percaya diri. Mereka ternyata mampu membuat dan menjual batik. Kegiatan itu perlahan menumbuhkan semangat dan mengasah kemampuan mereka yang lain, yakni berdagang dan berpromosi.
”Aditya mulai aktif. Ia gencar, mem-posting batik-batik karyanya untuk menarik pembeli dari berbagai tempat,” ujarnya.
Lebaran lalu, Aditya sudah pintar menangkap peluang bisnis. Dia membawa sebagian batik ciprat karyanya dan bisa menjual ke kerabat, teman, dan tetangga ketika pulang kampung.
Hanung mengatakan, yang dilakukan tiga orang tersebut menunjukkan perkembangan sangat pesat dibandingkan bulan-bulan pertama saat mereka mulai belajar batik.
”Dulu, di tahap awal membatik, mereka sangat takut, gugup, dan bingung saat ada tamu dari dinas atau instansi datang berkunjung. Jangankan berpromosi, mereka hanya diam saat ditanya. Biasanya kemudian lari mencari saya atau petugas BBRSBG lain yang dapat memandu tamu,” ujarnya.
Kepala BBRSBG Kartini Temanggung, Murhardjani, mengatakan, batik ciprat adalah produk yang menjadi ikon BBRSBG Kartini Temanggung. Batik ini telah dikenal dan dipasarkan ke sejumlah daerah, terutama di lingkup kementerian, serta instansi di bawahnya.
Mempertimbangkan hal tersebut, keterampilan membuat batik ciprat akhirnya ditularkan ke ratusan warga umum, dan penyandang disabilitas intelektual lain di lima shelter workshop BBRSBG yang tersebar di Wonosobo, Kulon Progo, Sukoharjo, dan Blora.
Tidak sekadar bernilai komersial tinggi, menurut Hanung, batik layak dikembangkan karena bernilai luar biasa untuk perkembangan mental, psikis para penyandang disabilitas intelektual.
”Karya batik mereka diterima, dibeli oleh orang dari sejumlah wilayah Indonesia. Hal itu membuat para pembuat batik yang menyandang disabilitas intelektual merasa sangat senang dan semakin percaya diri, bangga atas kemampuannya. Kebanggaan ini yang bernilai penting. Nantinya akan menuntun dan memotivasi mereka untuk berkarya lebih banyak di tengah masyarakat,” ujarnya.