Menjaga Kedai Kopi Legenda
Kedai kopi Prima Garden berlokasi di Jalan Ahmad Yani, salah satu jalan tersibuk di Jayapura, Papua. Kedainya tidak terlalu luas dan tidak mencolok. Namun, dari kedai itu, harum kopi menyebar, mengundang orang datang. Di kedai itulah awal gaya hidup minum kopi di Jayapura dimulai.
Begitu pintu dibuka, pengunjung akan disambut deretan kue di rak kaca. Ada jajan pasar seperti kue lumpur, pastel, kroket, dan brownies. Namun, kopi tetap tetap jadi bintangnya. Pramusaji akan menuangkan kopi saat pengunjung memesannya.
Kopi Prima Garden masih disajikan dengan cara lama: diseduh, disaring, dan dituangkan ke cangkir pengunjung. Cara yang diterapkan sejak kedai itu berdiri tahun 1990-an. Tidak ada tubruk, model V60, atau bahkan siphon. Kendati diseduh dengan gaya lama, namun kopinya tetap digemari. Kedai kopi itu bahkan menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin menikmati kopi di Jayapura.
Fransiscus Tandiono (48) adalah pengusaha di balik kedai kopi Prima Garden. Ia setia menggunakan kopi Papua asli untuk menyeduh minumannya. Menurutnya, kopi Papualah yang membuat rasa kopinya berbeda.
“Bagi saya, kopi Papua rasanya pas,” kata Frans, sapaannya.
Ia mengolah sendiri kopi green bean atau beras hijau dari petani. Biji kopi yang disangrai dengan mesin itu digiling sesuai kebutuhan. Setiap hari kopi diseduh dan dihidangkan ke pembeli. Selain kopi yang bisa dinikmati di kedai, Frans juga memproduksi kopi kemasan dan kopi siap seduh. Tidak beda dengan kopi-kopi atau siap bawa di Jakarta, kopi di Prima Garden juga dikemas praktis dan cantik sehingga mudah dibawa dan pantas dijadikan buah tangan. Dari kedai inilah para penikmat kopi bisa mencicip kopi Papua.
Prima Garden juga dikenal sebagai kedai legenda, karena merupakan kedai kopi pertama yang ada di Jayapura. Perintisnya David Hundoro (almarhum), ayah Frans Tandiono.
Dalam ingatan Frans, ayahnya adalah penggemar kopi sejati yang mengawali bisnis dengan kopi bubuk pada 1980. Kopi itu diberi nama Sari Prima. Bisa jadi apa yang dilakukan David adalah pertaruhan, antara memanfaatkan peluang dan berlaku nekat. Sebab, penggemar kopi di Jayapura belum semarak, seperti halnya di Jawa saat itu. Jayapura masih kota kecil dan berpenduduk sedikit.
David mendatangkan biji kopi Wamena dari Lembah Baliem dan Moanamani dari Lembah Kamuu, Papua. Ia meracik sendiri formula menyangrai kopi agar bisa mendapatkan rasa yang tepat.
Bahkan, kenekatannya juga diwujudkan dalam bentuk membeli mesin pemanggang dari Belanda berkapasitas 10 kilogram (kg). Mesin itu didatangkan lewat kapal menuju Jayapura.
“Ayah tidak membeli dari Jakarta, namun langsung dari Belanda lewat adiknya atau paman saya. Kenapa Belanda, karena sama saja, di Jakarta pun belum ada mesin roasting produksi Indonesia,” katanya.
David juga membeli grinder. Dengan dua alat itu, ia memproduksi kopi bubuk untuk diseduh. Kopi juga dikemas dan dititipkan di toko-toko.
Keseriusan David membuahkan hasil. Kopinya mulai dikenali. Ia pun membuka kedai. Banyak warga Papua dan turis yang datang sekadar untuk minum kopi dan mencicipi kue buatan istrinya. Kedainya menjadi rujukan pelancong dan pengunjung yang datang ke Jayapura.
Pada 1994, Frans melanjutkan usaha ayahnya. Saat itu Frans baru saja lulus dari Fakultas Teknik Universitas Trisakti di Jakarta. Ia belajar dari nol tentang seni mengolah kopi dari ayahnya.
“Saya mau diminta pulang oleh ayah karena saya melihat ada peluang di usaha itu. Kedai kopi ayah ramai dan sampai saat itu hampir tak ada pemain lain,” kisah Frans.
Berkembang
Kedai yang dikelola Frans kian berkembang. Setiap hari pemandu wisata membawa turis yang transit di Bandara Sentani, Jayapura, untuk ngopi dan mengudap di Prima Garden.
Menurut Andre Liem, Ketua Asosiasi Pemandu Wisata di Jayapura, pada tahun 1990-an, turis banyak yang singgah di Jayapura untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Wamena atau Biak dengan pesawat. Turis pula yang mempromosikan rasa kopi Papua di kedai Frans. Kedai itu kian ramai.
Kini, memasuki era kopi yang kian marak, Frans harus berhadapan dengan kedai-kedai baru di Jayapura. Kedai-kedai itu bermunculan dalam dua tahun terakhir. Rata-rata mereka menawarkan kopi dengan penyajian kekinian. Kopi yang disediakan pun beraneka ragam, dari Papua sampai Aceh.
Namun, Frans memilih tetap merawat tradisi lama; menyajikan kopi yang telah diseduh ke cangkir pengunjung dan hanya memakai satu jenis kopi, yakni kopi Papua. “Mungkin saya hanya akan menambahkan wifi saja,” katanya.
Bagi Frans, kopi klasik justru jadi kekuatan kedainya. Kopi itu tak ada di tempat lain di Jayapura. Frans hanya memberi polesan sedikit dalam pengemasan. Dulu, kopinya hanya bisa diminum di kedainya, kini bisa dibawa sambil jalan-jalan. Pembeli tinggal menuangkan air dan gula jika diperlukan ke dalam kopi kemasan cangkir kertas yang diproduksi Prima Garden.
Frans tak hanya bermain di hilir kopi. Ia pun memerhatikan hulu, dengan cara setia membeli kopi dari petani di Wamena. Ia memilih untuk tidak menekan harga karena tahu persis medan perkebunan kopi dan bagaimana para petani itu membawa hasil panen mereka.
Ia pun tak menerapkan standar terlalu ketat. Sebab, ia tahu kesulitan petani Papua mengolah kopi.
“Setiap petani yang jual ke saya, saya terima. Soal harga saya tidak masalah, karena saya tahu kopi diangkut memakai pesawat. Kalau saya hitung, hasil dari penjualan kopi tergerus banyak untuk biaya transportasi Jayapura-Wamena pulang pergi,” katanya.
Dengan cara itu, Frans tak khawatir kekurangan kopi. Meski pemburu kopi datang mencari kopi Papua, ia tetap bisa mendapatkan kopi dari para petani.
Saat penerbangan kian banyak dan wisatawan tak lagi transit di Jayapura, Frans sudah punya pelanggan baru. Kafenya jadi tempat berkumpul berbagai komunitas. Ada yang sekadar ngopi, ada juga yang berdiskusi.