JAKARTA, KOMPAS — Usaha kecil dan menengah yang membentuk sektor informal di Indonesia semestinya bisa bersaing. Namun, usaha-usaha kecil dan menengah ini perlu bergabung dan bersinergi dengan pengusaha besar. Selain itu, produktivitasnya pun harus ditingkatkan.
Sektor informal ini salah satu yang bisa menandingi produk-produk impor konsumsi. Badan Pusat Statistik mencatat impor barang konsumsi sepanjang Januari-Juni 2018 mencapai 8,182 miliar dollar AS atau naik 21,6 persen dari periode sama pada 2017. Persentase impor barang konsumsi terhadap keseluruhan impor juga naik dari 9 persen pada 2017 menjadi 9,2 persen tahun ini.
Adapun situs penyedia layanan manajemen konten media Hootsuite dan agensi marketing sosial We Are Social merilis jumlah pembeli barang elektronik melalui perdagangan elektronik (e-dagang) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang pada 2017. Angka ini 13 persen di atas jumlah konsumen pada 2016. Total pendapatan dari penjualan barang konsumsi e-dagang ini pada 2017 mencapai 7,056 miliar dollar AS atau naik 22 persen dari tahun sebelumnya.
Pelaksana Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Bambang PS Brodjonegoro mengakui ada indikasi peningkatan impor barang konsumsi, termasuk barang konsumsi yang sebenarnya bisa dihasilkan produsen di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, salah satu yang akan dibahas dalam Kongres ISEI XX adalah mengenai produktivitas sektor informal.
Kongres ISEI XX ini akan diselenggarakan pada 8-10 Agustus di Bandung, Jawa Barat. Pengurus ISEI pun mengundang Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membuka acara yang beragenda pemilihan ketua umum ISEI untuk tiga tahun berikut. Hadir bersama Bambang antara lain Sekretaris Umum ISEI Aviliani dan pengurus lainnya, seperti Prasetyo Malangjudo, Hermawan Siregar, dan Asmawi Syam.
Ketika produktivitas diperbaiki, misalnya, dari cara berproduksi dan keterampilan tenaga kerja, menurut Bambang, diharapkan produksi Indonesia semakin kompetitif. Konsumen Indonesia pun memilih produk UKM ketimbang barang impor.
Selama ini, kata Aviliani, yang menghambat UKM ”naik kelas” adalah tidak terkonsolidasinya usaha. Karena itu, kerap skala ekonomi tak tercapai. Dengan mengonsolidasikan diri dan bergandengan dengan pengusaha besar, UKM akan semakin kuat.
Model program unggulan desa yang mengumpulkan petani-petani dengan produk sama dan mengonsolidasikannya dengan perusahaan sebagai pembeli dinilai sebagai contoh baik. Model ini bisa menjadi salah satu skema yang ditiru.
Secara umum, menurut Aviliani, Kongres ISEI XX juga akan membicarakan produktivitas perekonomian dan tantangan peningkatan kualitas sumber daya manusia sejalan dengan perubahan zaman.