Pekan lalu ada dua kejadian sangat mengejutkan di jagad media sosial. Harga saham Facebook dan Twitter turun sangat drastis dalam sehari. Perubahan-perubahan tengah terjadi dalam pengelolaan bisnis media sosial. Salah satu yang menjadi persoalan adalah jumlah pengguna media sosial yang tak bertambah.
Kini mereka tengah memikirkan cara untuk meningkatkan pengguna. Dua kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi usaha rintisan Indonesia.
Setelah laporan keuangan triwulan Facebook yang tidak menggembirakan -karena jauh dari prediksi beberapa kalangan-, akhir pekan lalu saham Twitter juga jatuh hingga lebih dari 20 persen dalam sehari. Kejatuhan harga saham ini merupakan kejatuhan terburuk harga saham Twitter sejak 2014. Harga saham ditutup dengan nilai 34,12 dollar AS per saham.
Twitter sebenarnya berhasil meraih pendapatan di atas prediksi, akan tetapi mengalami masalah penurunan jumlah pengguna aktif bulanan sejak beberapa waktu lalu. Pada triwulan I-2018, jumlah pengguna disebutkan cenderung datar, tidak meningkat. Di Amerika Serikat, penggunanya turun dari 69 juta menjadi 68 juta pengguna. Salah satu penyebab penurunan itu adalah tindak bersih-bersih akun yang dilakukan Twitter terhadap akun yang diduga merupakan akun palsu.
Mereka dirundung masalah akun-akun palsu. Laporan ini sempat muncul beberapa waktu lalu, ketika diketahui ada perusahaan yang menyediakan jasa menambah pengikut (follower) untuk beberapa klien seperti politisi, artis, hingga olahragawan. Twitter termasuk entitas bisnis yang diminta untuk membersihkan diri dari akun-akun palsu itu. Meski demikian, baik Facebook maupun Twitter mulai menghadapi masalah penting, yaitu jumlah pengguna yang mulai tak bertambah.
Sama seperti Facebook, mereka juga terkena dampak dari pemberlakukan undang-undang privasi data di Uni Eropa, yaitu General Data Protection Regulation (GDPR). Jumlah pengguna di Uni Eropa menurun. Data penggunaan aktif bulanan (MAU) secara global jauh di bawah prediksi. Semula, dipredisi mencapai 338,5 juta, namun hanya tercapai 335 juta pengguna, meskipun pendapatan mereka naik.
Sebelumnya, Facebook menyatakan, dampak dari pengetatan privasi data, pengguna aktif harian (DAU) Facebook di Eropa turun, dari 282 juta menjadi 279 juta pengguna. Mereka juga gagal menaikkan jumlah pengguna aktif di beberapa tempat, seperti di Amerika Utara. Di kawasan itu mereka diprediksi bisa menaikkan jumlah pengguna hingga 185,4 juta, namun ternyata hanya tetap pada angka 184 juta pengguna. Secara global, angka DAU naik dari 1,45 miliar pengguna menjadi 1,47 miliar pengguna. Akan tetapi, angka itu masih jauh dari prediksi pasar, yaitu 1,49 miliar.
Beberapa analis menyebutkan, mereka masih bisa menambah pengguna di beberapa negara dengan jumlah penduduk tinggi dan akses internet yang mulai berkembang, seperti India dan Indonesia. Meski demikian, pengetatan privasi di Uni Eropa yang berdampak pada penurunan jumlah pengguna bisa menjadi penghalang mereka. Beberapa negara bisa terinspirasi untuk membuat pengaturan yang sama.
Kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi usaha rintisan di Indonesia ketika mereka mulai “diabaikan” penggunanya atau ada masalah yang memunculkan penurunan jumlah pengguna. Ujung dari solusi ini adalah kreativitas tanpa batas sehingga mereka bisa mempertahankan jumlah pengguna atau memunculkan sumber pendapatan baru. (ANDREAS MARYOTO)