Industri galangan sepatutnya mendapat perhatian agar bangkit karena memiliki peran penting di negeri ini. Pencanangan Indonesia sebagai poros maritim menempatkan industri galangan pada posisi strategis.
Peran industri galangan kapal terlihat dari potensinya dalam menghemat devisa, baik dalam pembangunan kapal baru maupun reparasi atau pemeliharaan kapal di dalam negeri. Lugasnya, uang tak perlu mengucur ke galangan kapal di luar negeri jika di dalam negeri mampu optimal berkiprah melayani kebutuhan pengadaan atau pemeliharaan kapal.
Kondisi geografis Indonesia -berpulau-pulau, disambung lautan, dengan banyak sungai dan danau di daratan- memberi peluang bagi industri galangan untuk tumbuh. Namun, kenyataannya, potensi itu belum sepenuhnya dioptimalkan.
Berdasarkan pemetaan Kementerian Perindustrian, ada tiga negara di Asia, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang, yang saat ini mendominasi pesanan pembangunan kapal baru. Pembangunan kapal baru di China pada 2017 sebanyak 29,184 juta gross ton (GT), Korea Selatan 25,468 juta GT, dan Jepang 14,733 juta GT.
Di kawasan Asia Tenggara, pesanan pembangunan kapal di Indonesia yang sebanyak 218.300 GT kalah dari Filipina dan Vietnam. Pesanan pembangunan kapal baru di Filipina sebesar 2,173 juta GT, sedangkan di Vietnam 766.431 GT.
Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) bertekad menumbuhkan industri maritim secara utuh. Hal ini antara lain ditempuh melalui peningkatan kandungan lokal. Alhasil, penumbuhan industri komponen menjadi bernilai penting.
Penguatan industri penunjang diyakini penting untuk mendukung struktur industri perkapalan negeri ini. Tanpa penguatan industri penunjang, maka industri galangan kapal di Indonesia akan terus terkungkung dalam ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan komponen impor. Peran industri galangan kapal sebagai penghemat devisa pun bisa tergerus.
Pengembangan industri galangan kapal perlu didorong melalui insentif, misalnya melalui bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk importasi bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri. Perbankan atau lembaga pembiayaan juga mesti didorong untuk membantu industri galangan kapal dalam negeri agar semakin berdaya saing. Sebab, menurut Iperindo, suku bunga pinjaman dalam rupiah masih berkisar 12-13 persen. Jika dukungan ini tak kunjung ada, kapal produksi dalam negeri akan sulit bersaing dengan kapal yang dibangun di China atau Korea Selatan.
Hal yang tak kalah penting, ada keberlanjutan pesanan atau pembangunan kapal di galangan kapal dalam negeri. Kemampuan produksi galangan kapal di Indonesia selayaknya dioptimalkan penggunannya, yakni pemangku kepentingan. Dukungan seperti ini berpotensi mengurangi impor kapal baru dan bekas, sehingga akan mencegah pelarian devisa.
Industri galangan kapal nasional yang semakin kuat akan mampu memenuhi kebutuhan kapal di dalam negeri. Bahkan, industri galangan yang berdaya saing dapat berjaya mengekspor kapal ke mancanegara. Dengan cara itu, bukan hanya menghemat devisa, namun juga andal menangguk devisa. (C Anto Saptowalyono)