JAKARTA, KOMPAS – Relaksasi rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value memberi ruang lebih luas kepada pengembang dan perbankan untuk menciptakan skema pembelian properti. Ruang tersebut mesti dimanfaatkan untuk menggaet konsumen kelas menengah yang berpenghasilan tetap.
“Pada saat relaksasi diumumkan, pengembang mesti mulai membuat variasi skema penjualan. Misalnya, angsuran dibuat di jumlah tertentu untuk 3 tahun pertama, baru tahun berikutnya dinaikkan. Atau bunga bisa dibayar belakangan. Jadi variasi-variasi itu menjadi lebih mudah dilakukan,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata di sela acara penyerahan rumah atlet berprestasi di Kantor KONI Pusat, Kamis (2/8/2018), di Jakarta.
Menurut Soelaeman, variasi skema penjualan ini bisa berdampak signifikan terutama untuk menarik konsumen kelas menengah yang telah bekerja dan memiliki penghasilan tetap, namun belum memiliki rumah. Sebab, penghasilannya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Mayoritas dari mereka adalah keluarga muda.
Dengan kelonggaran akibat kebijakan relaksasi LTV, mereka bisa diberi skema berupa uang muka rendah bisa diangsur yang disesuaikan dengan kenaikan pendapatan. “Mereka kan sebenarnya memiliki uang. Kalau tidak terpaksa menabung, ya tidak segera nabung. Memang mengurangi kenikmatan,” ujar Soelaeman.
Ketika kebijakan relaksasi LTV diumumkan, lanjut Soelaeman, pasar langsung merespon positif. Namun demikian, kebijakan tersebut tetap perlu dukungan otoritas keuangan maupun perbankan agar dijalankan. Tanpa itu, kebijakan relaksasi LTV hanya dianggap sebagai sebuah opsi, bukan keharusan. Selain itu, relaksasi tersebut memerlukan proses yang berdampak di industri properti, terutama
Secara terpisah, Assistant Vice President Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk Alvin Andronicus mengatakan, kebijakan relaksasi LTV membangkitkan optimisme pengembang. Sebab, selama ini uang muka menjadi salah momok bagi masyarakat untuk membeli rumah.
“Dengan relaksasi ini, lebih banyak skema penjualan yang bisa kami tawarkan kepada calon pembeli. Misalnya, jika mereka membeli rumah tanpa uang muka, maka bisa diatur jangka waktu angsurannya. Ini bisa menarik pasar lebih banyak,” kata Alvin.
Menurut Alvin, relaksasi tersebut bisa berdampak signifikan pada pasar properti untuk segmen menengah ke bawah yang dalam dua tahun terakhir ini menopang industri properti yang tengah lesu. Bahkan, harga rumah yang digolongkan untuk segmen menengah pun bergeser dari Rp 3 miliar menjadi Rp 2 miliar. Adapun harga rumah yang paling laku adalah di bawah Rp 1 miliar per unitnya.
Sementara, laporan JLL triwulan II-2019 mencatat, kebanyakan konsumen mencari rumah tapak untuk dihuni yang berada di kota mandiri. Harga rumah yang kebanyakan diminati adalah antara Rp 600 juta sampai Rp 2 miliar per unit.
Dengan pasar yang terbuka adalah pengguna akhir yang termasuk generasi milenial, lanjut Alvin, pihaknya menyiapkan strategi khusus untuk menggaetnya. Prinsipnya adalah memberikan skema yang meringankan angsuran. Selain itu, mereka juga perlu diedukasi bahwa uang yang dikeluarkan tersebut bukan untuk hal yang konsumtif, melainkan bernilai investasi. (NAD)