Tak Kenal maka Tak Sayang
Jangan hanya mengenal beras dan terigu. Ada bahan pangan lain, seperti sagu, singkong, dan jelai, yang kini sedang dikembangkan. Bahan-bahan pangan itu mulai berkenalan dengan lidah konsumen.
Sagu yang diolah menjadi tepung, misalnya, dapat berubah menjadi aneka makanan jadi. Perwakilan Provinsi Riau dalam acara Gelar Pangan Nusantara yang diselenggarakan Kementerian Pertanian menyuguhkan burger, sempolet (semacam sup kental), dan mi dari bahan tepung sagu.
Pengunjung antusias memperhatikan pembuatan makanan dan menghabiskan sajian cuma-cuma itu. Saat burger sagu dimasak, mereka memperhatikan proses adonan tepung sagu disulap menjadi ”roti burger”, kemudian diisi potongan daging tipis, selada, dan saus tomat.
”Rasanya enak dan bisa diterima lidah. Saat dimakan terasa kenyal,” kata Yusuf Abdurrahman (21), pegawai swasta asal Bekasi, Jawa Barat, yang mencicipi burger sagu.
Perkenalan lidah dengan produk bahan pangan alternatif ini tak bisa seketika, perlu proses hingga akhirnya memunculkan ketertarikan untuk terus mengonsumsinya.
Tepung singkong atau dikenal sebagai mocaf (modified cassava flour) juga unjuk kebolehan. Di sejumlah stan, mocaf menjelma menjadi pizza, brownies, kue kering, sup krim, bahkan keripik.
Menurut peneliti teknologi pangan Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta, FG Winarno, proses menjadikan tepung merupakan metode yang tepat dalam mengolah sagu dan singkong.
”Bahan pangan yang menjadi tepung itu tingkat kekeringannya tinggi sehingga dapat disimpan lebih lama dan dikreasikan,” ujarnya di sela-sela acara Gelar Pangan Nusantara di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kalimantan Timur menjadi satu-satunya stan yang menawarkan nasi jelai. Nasi jelai yang lebih bertekstur dibandingkan dengan nasi dari beras menggoda untuk disantap. Apalagi, di acara itu nasi jelai disandingkan dengan sambal ikan teri. Sedap....
Dari sisi rasa, berbagai makanan hasil kreasi itu tidak jauh berbeda dari bahan pangan yang kita jumpai sehari-hari, yakni beras dan terigu.
Namun, kita memang belum terbiasa menyantap berbagai bahan pangan alternatif tersebut. Oleh karena itu, promosi terus digencarkan.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Yayasan Teknik Industri Pasundan Sejahtera Riki Anugrahsari menceritakan, ia rutin mengadakan demo masak di lingkungan tempat tinggalnya. Demo masak itu dalam rangka mengenalkan mocaf. Yayasan ini memproduksi mocaf dengan merek Indomocaf. Melalui demo itu, tetangga-tetangga Riki dapat melihat cara memasak dengan mocaf dan mencicipi hasilnya.
Salah satu pelaku usaha yang menggunakan bahan pangan nonberas adalah Dian Veronika. Ia berbisnis kue berbahan dasar mocaf. Alasannya, bahan dasar itu lebih inovatif dan sehat.
Semula, ia membuat kue kering berbahan baku terigu. Namun, keinginannya untuk terus berkreasi menggunakan bahan-bahan yang masih jarang digunakan di pasaran membuatnya beralih dari terigu ke mocaf.
Kreasinya berupa kue kering, yang semula hanya terjual 20 bungkus per hari, kini terjual 50 bungkus per hari. Satu bungkus berisi 200 gram kue.
Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Riau tak sendirian dalam berpromosi. Mereka melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hingga kini, kegiatan mengolah dan mempromosikan sagu itu melibatkan 200 UMKM.
Kepala Seksi Promosi Penganekaragaman Konsumsi Pangan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Riau Murnayanti menyebutkan, produk pangan olahan sagu telah populer di Riau. ”Kami sedang melatih UMKM untuk memanfaatkan e-dagang agar memperluas pasar,” katanya.
Sementara itu, popularitas nasi jelai masih terbatas di Kalimantan Timur. Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Timur Ibrahim mengakui, sebagai substitusi beras padi, Ibrahim mengatakan, harganya masih lebih mahal, yakni Rp 40.000 per kilogram (kg).
Harga yang tinggi itu akibat produksi yang terbatas. Oleh karena itu, nasi jelai akan terus dipromosikan melalui pameran agar pasarnya semakin luas. Jika permintaan jelai meningkat, petani kian bergairah menanam jelai.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi berharap, pangan Nusantara dapat menembus pasar global. Harapan itu diupayakan dengan tak henti-hentinya berpromosi. Cara berpromosi tak cukup lewat pameran, tapi juga menggunakan media sosial untuk menjangkau anak muda.
”Pemberi pengaruh atau influencer bisa dilibatkan untuk mempromosikan dan menyosialisasikan ragam pangan Nusantara,” kata peneliti pangan Center for Indonesian Policy Studies, Imelda M Freddy.
Saat ini, menurut Ketua Forum Komunikasi Kabupaten Penghasil Sagu Seluruh Indonesia yang juga Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Irwan Nasir, ada 67 kabupaten/kota yang bergabung di dalam Forum Komunikasi Kabupaten Penghasil Sagu Seluruh Indonesia. Total potensi lahan tanam 6 juta hektar.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia Suharyo Husen, luas lahan singkong saat ini berkisar 1,2 juta hektar-1,8 juta hektar. Produktivitas optimal 60 ton per hektar jika menerapkan sistem kluster yang bergilir ditanam setiap bulan.
Memanfaatkan
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, saat ini 20-30 persen anggotanya telah memanfaatkan tepung sagu dan mocaf. Tepung itu sebagian besar diolah menjadi biskuit dan mi.
Alternatif bahan baku produk makanan kian bertambah. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 389 jenis buah-buahan, dan 26 jenis kacang-kacangan.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, nilai pola pangan terus meningkat. Hal ini menunjukkan keragaman konsumsi yang bertambah. ”Program-program berorientasi diversifikasi pangan bertujuan mendorong konsumsi beraneka ragam pangan,” kata Syukur.
Upaya mengenalkan bahan pangan alternatif tak boleh berhenti.