JAKARTA, KOMPAS-- Rencana Amerika Serikat mengevaluasi keringanan bea masuk ekspor sejumlah produk menjadi salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. Indonesia berharap kemitraan strategis yang dibangun kedua negara bermanfaat tak hanya untuk Indonesia dan Amerika Serikat, tetapi juga untuk dunia.
Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (5/8/2018). Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 9.00-9.30, Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kemenlu Muhammad Anshor, dan Duta Besar RI untuk AS Budi Bowoleksono.
Seusai kunjungan, Pompeo meninggalkan istana tanpa memberikan keterangan pers.
Retno, seusai pertemuan, menjelaskan, RI dan AS berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, terutama di bidang perdagangan. “Presiden menyampaikan, harapan Indonesia, fasilitas GSP (generalized system preferences) tetap diberikan kepada Indonesia. Sebab, kalau kita lihat dari barang-barang yang ada di dalam GSP, maka 53 persen dari barang-barang tersebut terkait dengan produk yang diekspor Amerika Serikat. Barang modal, di antaranya terkait dengan proses produksi yg diperlukan AS,” kata Retno.
Enggartiasto menambahkan, dalam kunjungannya ke Washington DC, AS, dua pekan lalu, ia telah menyampaikan bahwa Indonesia memahami defisit yang dihadapi Pemerintah AS. Oleh karena itum Pemerintah RI mendorong agar total nilai perdagangan RI-AS tak hanya 28 juta dollar AS, melainkan bisa mencapai 50 juta dollar AS.
Untuk mencapai itu, kata Enggar, akan disusun peta jalan dan penyusunan daftar komoditas yang bisa diperdagangkan kedua negara. Diharapkan, target tersebut bisa dicapai dalam satu hingga dua tahun. Namun, ia juga mengakui, peta jalan ini harus disusun dengan hati-hati.
“Setidaknya, kami menyepakati bahwa (total perdagangan) 28 juta dollar AS terlalu kecil,” tutur Enggar.
Selain itu, tambah Enggar, ia juga menyampaikan bahwa GSP bukan hanya dinikmati Indonesia. Ia mencontohkan, alumunium dan baja yang diekspor Indonesia ke AS, sebagian digunakan perusahaan yang memproduksi pesawat, Boeing. Jika dikenakan tarif tinggi, tentu harga jual Boeing menjadi lebih tinggi. Padahal, Boeing bersaing dengan Airbus.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan RI dengan AS pada Januari-Mei 2018 surplus 3,726 miliar dollar AS.
Pada 2017, neraca perdagangan surplus 9,672 miliar dollar AS. Surplus neraca perdagangan itu ditopang nonmigas, yakni 9,435 miliar dollar AS. (INA)