Disintegrasi kebijakan antar-departemen menghancurkan sektor hulu dan hilir industri mebel rotan. Sektor dengan keunggulan komparatif ini tumbang karena kekurangan bahan baku.
CIREBON, KOMPAS Meskipun Indonesia menjadi penghasil rotan terbesar di dunia, ironinya, industri rotan Indonesia tak mampu bersaing di pasar global. Sektor industri ini terpuruk karena disintegrasi kebijakan antarkementerian.
Data global dalam Bamboo and Rattan Congress, Juni 2018, yang diadakan International Bamboo and Rattan Organisation (Inbar), mengungkap nilai perdagangan produk rotan di dunia mencapai 6,5 miliar dollar AS.
Menariknya, kata Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Bidang Produksi dan Sumber Daya Manusia Satori, Minggu (5/8/2018), di Cirebon, Jawa Barat, Indonesia cuma menyumbang 1,7 miliar dollar AS.
”Lalu, ke mana sisanya? Padahal, 80 persen rotan dunia berada di Indonesia, yang menurut Permendag No 35/2011 untuk kebutuhan dalam negeri,” katanya.
Kontribusi terbesar adalah China dan Vietnam. Padahal, kata Alamsyah, pemilik House of Rattan di Cirebon, mereka tidak memiliki hutan rotan.
Pengusaha sudah bosan menyampaikan masalah ini kepada pemerintah. Sebab, hanya dibahas kementerian terkait dan hasilnya tetap saja, di hulu, pedagang rotan mengeluhkan tingkat penyerapan yang rendah. Sebaliknya, di hilir, kelimpungan bahan baku.
Sebagai gambaran, kebutuhan untuk bahan baku rotan jenis batang per bulan saat ini 75-80 ton. Namun, yang tersedia hanya 35-40 persen. Naifnya, kata Alamsyah, yang juga Ketua Bidang Kayu, Rotan, dan Bambu Himki, pengusaha harus impor rotan dari Singapura.
Perkuat pasar lokal
Menurut Ketua Umum Himki Soenoto, pihaknya telah mengusulkan beberapa hal untuk mendongkrak industri rotan. Misalnya, kewajiban sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) harusnya diterapkan di hulu, bukan di pelaku industri hilir yang telah membeli kayu secara legal.
”Kalau 1 kontainer butuh biaya Rp 1 juta untuk SVLK, bayangkan perusahaan yang mengirim 30 kontainer per bulan bisa Rp 30 juta. Ribetnya regulasi pemerintah juga membuat sejumlah perusahaan mebel di Jawa Timur hengkang ke Vietnam.
Ketika negeri dengan produksi rotan terbesar di dunia ini kesulitan bersaing di tingkat internasional, pasar mebel dalam negeri malah dikuasai produk impor. Saat ini, baru sekitar 40 persen pasar mebel domestik diisi produk lokal.
Padahal, potensi pasar mebel domestik dengan asumsi jumlah penduduk 240 juta terdapat 60 juta rumah yang membutuhkan furnitur. Ini belum termasuk kebutuhan industri hotel.
”Pasar lokal ini bernilai 6-7 miliar dollar AS per tahun. Padahal, nilai ekspor mebel tahun 2017 hanya 1,8 miliar
dollar AS. Nilai 1 miliar dollar AS dapat menyerap 500.000 tenaga kerja. Selain itu, pasar domestik juga akan meningkatkan penyerapan bahan baku rotan di hulu
Salah satunya ialah penggunaan bangku sekolah berbahan baku rotan. Kalau ini terwujud, sebulan bisa 7.000 ton yang terserap. Kami sudah sampaikan, tetapi tidak ada respons berarti.
”Sedih rasanya kalau ingat Presiden kita orang mebel dan Menteri Perdagangan orang Cirebon,” kata Sunarto. (ast/iki)