JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah Indonesia tetap akan membangun kereta semi cepat Jakarta-Surabaya bersama Jepang, dengan biaya pembangunan Rp 60 triliun. Saat ini, proses persiapannya masih dilakukan, baik oleh pihak Jepang maupun Indonesia.
"Pemerintah ingin yang semurah mungkin. Oleh karena itu jalur yang dibangun hanya satu dan kereta yang dipakai yang berukuran narrow (sempit)," kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri dalan jumpa pers di Jakarta, Senin (6/8/2018).
Kementerian Perhubungan telah bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk penentuan trase, amdal, perizinan, dan kebutuhan lain.
"Kami sudah bekerja sejak Maret lalu dan akan selesai pada Oktober. Kalau Jepang, saat ini mereka sedang melakukan lelang konsultan dan hasilnya akan keluar November," kata Zulfikri.
Setelah mendapatkan konsultan, baru akan dilakukan lelang konstruksi. Dengan demikian, peletakan batu pertama pembangunan kereta semi cepat Jakarta-Surabaya diperkirakan tidak bisa dilakukan pada awal 2019.
Trase yang akan digunakan kereta semi cepat ini adalah trase yang sudah ada, dengan menambahkan satu jalur yang didedikasikan untuk kereta semi cepat.
"Ukuran kereta yang dipakai adalah yang sempit agar pembebasan lahannya tidak besar," jelas Zulfikri.
Dia menambahkan, saat ini pemerintah sedang mencari skema pembiayaan dan akan menggandeng badan usaha. "Proyek ini tidak akan menggunakan murni APBN, melainkan dengan pinjaman Jepang dan akan menggandeng badan usaha atau Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha," tambah dia.
Pendanaan
Sementara itu, Direktur Prasarana Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zamrides mengatakan, persoalan pendanaan membuat target pembangunan jalur kereta api direvisi. "Alternatif skema pembiayaan dari luar APBN masih sulit didapatkan," kata Zamrides.
Target pembangunan jalur kereta api selama 5 tahun sepanjang 3.258 kilometer (km) dengan anggaran Rp 233 triliun, akhirnya direvisi menjadi 1.349,88 km dengan anggaran Rp 127,2 triliun. "Porsi APBN juga diubah. Jika semula porsinya hanya 30 persen dan pembiayaan alternatif sebesar 70 persen, kini terbalik.
Dana APBN yang digunakan telah mencapai Rp 90,3 triliun dan non APBN hanya Rp 36,9 triliun," kata Zemrides.
Menurut catatan Ditjen Perkeretaapian, jumlah pengguna kereta api terus bertambah, baik untuk kereta jarak jauh maupun kereta perkotaan. Pada 2015, sebanyak 301,63 juta penumpang menggunakan kereta api, yang pada 2018 meningkat menjadi 343,69 juta orang. "Tahun 2019 ditargetkan 376,69 juta penumpang," kata Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Perkeretaapian Zulmafendi.
"Tahun ini anggaran public service obligation (PSO) mencapai Rp 2,3 triliun, yang Rp 1,6 triliun di antaranya untuk KRL Jabodetabek," kata Zulmafendi.
Saat ini jumlah pengguna KRL Jabodetabek 1,15 juta orang, yang diperkirakan meningkat menjadi 1,2 juta orang pada 2019. (ARN)