Pedagang Kayu Jati untuk Industri Mebel Jepara Ditertibkan
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
JEPARA, KOMPAS – Kisruh perdagangan bahan baku kayu jati di Kabupaten Jepara dan sekitarnya, Jawa Tengah akhirnya menemui titik terang penyelesaian. Seluruh pedagang bahan baku industri permebelan, khususnya kayu jati di Jepara akan segera ditertibkan, melalui pendataan dalam tempo satu bulan ini. Penertiban ini menyusul keluhan pengusaha furniture dan perajin mebel ukir yang merasa selama ini dicurangi oleh pedagang kayu.
“Saya memerintahkan supaya instansi perdagangan, melakukan pendataan pedagang kayu untuk bahan baku industri furniture dalam satu bulan. Data itu harus akurat dan tidak ada pedagang yang luput dari pendataan. Ini penting supaya Jepara sebagai kota ukir terkenal di manca negara ini, tidak lagi terganggung oleh hal sepele,” kata Wakil Bupati Jepara, Dian Kristiandi, Rabu (8/8/2018) malam pada pertemuan dengan sejumlah bertajuk Jagong Bareng Pelaku Industri, Tata Niaga Kayu Sudah Sesuaikah? Yang berlangsung di Pendopo Pemkab Jepara.
Pertemuan ini difasilitasi Himpunan Industri Mebel dan Kayu Indonesia (HIMKI) Jepara Raya, Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Jepara diikuti sekitar 45 pengusaha furniture dan perajin mebel. Menurut Ketua HIMKI Jepara Raya, Maskur Zaeuri, tata niaga kayu sejak 2016 tidak ada lagi ada pengawasan dari aparat pemerintah. Kondisi ini menyebabkan pedagang kayu seenaknya menetapkan besaran ukuran kayu, mendata sendiri dan menetapkan kubikasi tanpa ada klarifikasi dari petugas tenaga teknis (ganis).
“Peran ganis sangat penting, dia sudah punya sertifikat resmi dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, berhak melakukan pendataan kayu. Tenaga ganis yang terbatas itu, menyebakan perdagangan kayu jadi merugikan perajin,” ujar Maskur Zaenuri.
Dian Kristiandi mengatakan, bahan baky menjadi penting manakala industri mebel belum bangkit lagi. Di saat perajin mulai bangkit, muncul kesadaran perlu ada penataan tata niaga bahan kayu. Ini tidak lepas dari terbatasnya bahan baku kayu, terutama kayu jati, sedangkan permintaan dari kalangan industri dan perajin makin meningkat.
Selama ini, pedagang kayu diakui belum tersentuh penataan. Data jumlah pedaang juga belum tersedia. Ketika terjadi perselisihan, semua pihak kebingungan. Padahal, diakui peran pedagang kayu yang ada juga banyak membantu perajin mebel.
General Manager Presiden Furniture, Mambak, Jepara, Ponco Suhirno mengatakan, kebutuhan kayu sebagai bahan baku di Jepara dan sekitarnya cukup tinggi. Kebutuhan kayu kisaran 1.800 kubik hingga 2.100 kubik per bulan. Pasokan kayu itu memang sepenuhnya dari para pedagang. Mereka tergabung dalam himpunan pedagang kayu jati (HPKJ). Harga kayu jati pun bervariasi dari mulai Rp 3,1 juta per kubik untuk kayu medelin (diameter) dibawah 25 sentimeter, kalau medelin diatas 30 sentimeter sekitar Rp 4,1 juta per kubik, jika lebih gede lagi bisa lebih Rp 5 juta per kubik.
“Lazimnya, diameter kayu itu dihitung dari daging ke daging. Namun praktik yang terjadi akhir-akhir ini, pedagang mengukur medelin dari kulit ke kulit luar. Padahal, kulit tidak bermanfaat, kalau tidak dibuang ya jadi kayu bakar,” ujar Ponco Suhirno.
Pengusaha furniture di Jepara, Abdul Wahid menyatakan, akibat tata niaga kayu tanpa pengawasan ketat, pengusaha berada di posisi lemah. Data kayu tidak sesuai faktualnya. Pengusaha mau menolak membeli, ternyata pihak lain berani mengambilnya. Kerugian atas selisih data medelin kayu, cukup besar mencapai Rp 900.000 sampai Rp 1,2 juta per kubik. Misalnya, balok kayu ukuran 24 sentimeter, ternyata didata menjadi 28 sentimeter. Penambahan 4 sentimeter karena pedagang mengukur medelin termasuk kulit kayu luar.