JAKARTA, KOMPAS — Eskportir bersedia mendukung pemerintah dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mengonversi devisa hasil ekspor ke rupiah. Namun, mereka butuh insentif agar kebijakan itu tidak merugikan eksportir akibat fluktuasi nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data Bank Indonesia, baru sekitar 90 persen devisa hasil ekspor yang masuk ke bank domestik. Dari jumlah itu, baru sekitar 15 persennya yang dikonversikan ke rupiah.
Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, eksportir punya alasan untuk tidak mengonversikan seluruh devisa hasil ekspor ke rupiah. Selain karena ada yang pembiayaannya berasal dari luar negeri, sejumlah eksportir, misalnya sektor manufaktur, juga memerlukan valuta asing atau valas untuk mengimpor bahan baku.
“Kalau ada jaminan, misalnya biaya hedging (lindung nilai) dibantu pemerintah, tidak masalah. Jika sewaktu-waktu mereka butuh valas untuk impor, terjadi fluktuasi kurs, kalau tidak dijamin, rugi juga kan ya,” kata Benny dalam diskusi “Devisa Hasil Ekspor Pulang, Rupiah Tenang?” di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Benny menambahkan, kebijakan ini tidak bisa diterapkan terhadap seluruh eksportir. Menurut dia, eksportir yang tidak tergantung terhadap impor, misalnya tambang, bisa diwajibkan konversi 100 persen. Sementara, bagi eksportir yang masih butuh bahan baku impor, semestinya diberi keringanan.
Hal senada diungkapkan Wakil Presiden Direktur PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto. Eksportir tidak bisa mengonversi seluruh devisa hasil ekspor karena kebutuhan terhadap valas masih tinggi, terutama industri garmen yang bahan bakunya didominasi impor. “Untuk jangka pendek, kalau biaya lindung nilainya bisa dibantu, ya mengapa tidak?” ujarnya.
Impor
Namun, solusi jangka pendek saja tidak cukup. Besarnya kebutuhan terhadap valas tidak terlepas dari masih bergantungnya industri dalam negeri terhadap bahan baku impor. Pemerintah mesti punya peta jalan ) untuk mereformasi industri bahan baku dalam negeri.
Menurut Anne, rantai pasokan di dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan industri garmen nasional. Pabrik kain di Indonesia masih terbatas, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Pabrik kain dalam negeri tidak mengalami evolusi kualitas sehingga tidak kompetitif.
“Seandai kita punya supply chain yang lebih di Indonesia, tentu saja devisa hasil ekspor kita simpan di Indonesia dalam rupiah,” katanya.
Direktur Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Tutuk SH Cahyono mengatakan, BI dan pemerintah sedang mengkaji insentif bagi eksportir agar mau mengonversikan seluruh devisa hasil ekspornya menjadi rupiah. BI juga meminta masukan eksportir mengenai hal ini.
Tutuk memahami alasan eksportir tidak mengonversikan seluruh devisa hasil ekspor. Solusi yang tepat tengah dicari agar devisa hasil ekspor bisa dikonversi tanpa merugikan pengusaha. “Titik temu ini yang harus kita cari. Bisa menolong negara, tapi tidak merugikan pengusaha,” ujarnya.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu (8/8), nilai tukar rupiah Rp 14.439 per dollar AS.