Sebagai sektor andalan penopang pertumbuhan ekonomi, wajar jika ada harapan agar industri pengolahan -terutama pengolahan nonmigas- mampu tumbuh tinggi. Kekuatan pertumbuhan di sektor ini berpotensi menarik pertumbuhan di sektor lain. Apalagi, jika industri pengolahan berperan meningkatkan nilai tambah komoditas mentah menjadi bahan setengah jadi, bahkan barang jadi.
Potensi serapan tenaga kerja yang besar di industri pengolahan juga jangan diabaikan. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan nonmigas pada triwulan II-2018 tumbuh 4,41 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 yang sebesar 3,93 persen.
Pertumbuhan ini ditopang berbagai sektor. Industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki tumbuh 11,38 persen pada triwulan II-2018. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 yang sebesar 4,55 persen. Pada kurun waktu sama, pertumbuhan industri makanan dan minuman meningkat, dari 6,48 persen menjadi 8,67 persen. Adapun pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi meningkat dari 3,78 persen pada triwulan II-2017 menjadi 6,39 persen pada triwulan II-2018.
Mengacu pada data BPS, Kementerian Perindustrian juga menilai masa Lebaran dan Pemilihan Kepala Daerah pada tahun ini berdampak positif terhadap pertumbuhan permintaan domestik dan produksi di sektor-sektor tersebut.
Produksi industri manufaktur besar dan sedang tumbuh 4,36 persen pada triwulan II-2018. Adapun pertumbuhan secara tahunan produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada periode triwulan II-2018 sebesar 4,93 persen.
Terlepas dari tren positif di beberapa sektor, berbagai kendala atau harapan pelaku industri di sejumlah sektor industri juga mesti dicermati. Hal yang dimaksud antara lain menyangkut pembiayaan dan biaya energi -terutama gas industri- yang diharapkan kompetitif. Dengan biaya energi yang kompetitif, maka produk industri dalam negeri kian berdaya saing.
Penetrasi produk jadi impor juga menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan industri di berbagai sektor. Ada pendapat, dalam jangka pendek, harus ada ikhtiar agar produk-produk industri dalam negeri mampu mengisi pasar dalam negeri secara optimal. Penegakan aturan mengenai Standar Nasional Indonesia atau investigasi sebelum pengapalan produk jadi impor, merupakan salah satu contoh isu terkait hal ini.
Sementara, hal yang dibutuhkan pada jangka menengah dan panjang antara lain upaya menumbuhkan industri hulu atau industri antara, untuk memproduksi bahan baku dan bahan penolong yang selama ini harus diimpor. Pelaku industri yang tergantung impor tentu akan mengalami dampak signifikan jika nilai tukar tidak stabil. Sebaliknya, ketergantungan impor akan menciptakan kebutuhan valuta asing yang dapat memengaruhi stabilitas nilai tukar.
Alhasil, upaya menumbuhkan industri substitusi impor bernilai penting untuk memutus lingkaran permasalahan ini. Tak urung, dukungan bagi industri dalam negeri harus terus diperjuangkan. Dengan cara itu, barang produksi industri dalam negeri dapat dominan mengisi gudang-gudang dan truk-truk yang akan mendistribusikan muatan ke penjuru Tanah Air. Tak lupa, juga mengisi kontainer yang akan dikapalkan untuk diekspor ke mancanegara. Dan tak lupa, harus pula dominan mengisi warung, toko, pasar, gerai di pusat perbelanjaan, hingga menguasai pajangan di laman belanja dalam jaringan.
Tak mudah untuk meraihnya. Dukungan semua pemangku kepentingan diperlukan untuk membuat industri dalam negeri optimal berperan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi bangsa ini. (C Anto Saptowalyono)