JAKARTA, KOMPAS--Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat berpotensi terhambat jika Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO menyetujui permohonan retaliasi Amerika Serikat. Di sisi lain, impor Indonesia dari AS berpotensi meningkat karena ada penyesuaian regulasi atas rekomendasi WTO.
Selain itu, Indonesia dan AS telah sepakat meningkatkan perdagangan dari 28 miliar dollar AS menjadi 50 miliar dollar AS. Jika tidak diimbangi dengan perencanaan, penguatan, dan diversifikasi produk ekspor RI, porsi impor dari AS bisa lebih besar.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Kamis (9/8/2018), mengatakan, penyelesaian kasus impor hortikultura dan produk daging AS di WTO akan berdampak ganda bagi Indonesia. Penyesuaian regulasi dan retaliasi peningkatan tarif bea masuk sama-sama tidak menguntungkan bagi petani dan agenda kedaulatan pangan Indonesia.
Penyesuaian regulasi akan mendorong perubahan kebijakan nasional yang selama ini sangat dibutuhkan petani dan pelaksanaan agenda kedaulatan pangan. Kebijakan pembatasan impor yang dilakukan Indonesia adalah mengutamakan penyerapan produksi domestik untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
"Seharusnya kebijakan itu tetap dipertahankan dan posisi itu tidak bisa ditawar hanya dengan alasan mematuhi rekomendasi dan aturan WTO serta menghindari ancaman retaliasi AS,” kata Rachmi.
AS sedang meninjau kembali kebijakan pembebasan tarif (Generalized System of Preferences/GSP) bagi Indonesia. AS juga mengajukan retaliasi kenaikan tarif sejumlah produk Indonesia kepada WTO senilai 350 juta dollar AS pada 2 Agustus 2018. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, retaliasi itu senilai Rp 5,047 triliun.
Menurut Rachmi, AS sengaja melakukan retaliasi agar bisa menerapkan kebijakan pembatasan perdagangan dengan mitra dagangnya yang mengalami surplus. Hal itu akan turut memengaruhi proses peninjauan kembali GSP yang diberikan kepada Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan RI-AS pada Januari-Mei 2018 surplus 3,726 miliar dollar AS. Adapun pada 2017 surplus 9,672 miliar dollar AS dengan nilai perdagangan 25,916 miliar dollar AS.
“Strategi yang perlu diambil RI adalah mempertahankan kebijakan pembatasan impor untuk melindungi petani dan agenda kedaulatan pangan," ujarnya.
Rachmi menambahkan, banyak negara maju, di antaranya AS dan Uni Eropa, yang tidak melaksanakan perdagangan bebas secara konsisten. Laporan monitoring perdagangan WTO 2018 menunjukkan, ada peningkatan pembatasan perdagangan dari rata-rata 11 tindakan menjadi 75 tindakan per tahun.
Tindakan itu termasuk penerapan trade remedy yang meningkat 40 persen pada 2017. Dari jumlah itu, 80 persen diantaranya berupa penerapan bea masuk antidumping.
Trade remedy adalah instrumen melindungi industri di dalam negeri melalui dumping, subsidi, dan safeguard. Safeguard merupakan tindakan pengamanan perdagangan dengan cara membatasi impor, menaikkan tarif impor, dan mengantisipasi impor melalui sistem perizinan.
"AS dan Uni Eropa paling banyak menerapkan pembatasan perdagangan dalam bentuk non-tariff measures, yang masing-masing 4.780 tindakan dan 6.805 tindakan. Indonesia hanya 272 tindakan," kata Rachmi.
Akan dibahas
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengemukakan, permintaan AS soal retaliasi itu masih akan dibahas Badan Penyelesaian Sengketa WTO pada 15 Agustus 2018. Jika Badan Penyelesaian Sengketa WTO mengabulkan permintaan retaliasi, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan nilai retaliasi.
Nilai retaliasi 350 juta dollar AS itu masih ditentukan pihak AS. Indonesia masih dapat memperdebatkan dalam badan panel yang akan dibentuk nanti.
"Untuk menyelesaikan masalah itu tanpa harus melalui retaliasi, Indonesia akan kembali berkonsultasi dengan AS. Hal itu sebenarnya telah dilakukan Kementerian Perdagangan saat berkunjung ke AS pada 24-27 Juli 2018," ujar Iman. (HEN)