JAKARTA, KOMPAS--Potensi ekspor produk usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia belum bisa dioptimalkan. Sebab, mereka masih terkendala akses pasar global.
Pemberian insentif dan pemangkasan izin belum cukup membuka peluang untuk produk yang berorientasi ekspor.
Kendati menurut data Badan Pusat Statistik kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2013 mencapai 60,34 persen, namun produktivitasnya masih rendah. Kontribusi ekspor UMKM sekitar 15,68 persen terhadap total ekspor nonmigas atau Rp 182 miliar.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, M Ikhsan Ingratubun, mengatakan, ekspor produk UMKM sulit ditingkatkan karena peluang pasar belum terbuka luas. Penyebab utamanya bukan hanya daya saing dan harga barang, tetapi juga promosi yang lemah dan tak berkelanjutan. Atase perdagangan Indonesia yang ditempatkan di sejumlah negara cenderung birokratis dan kurang berjiwa wirausaha.
“Iklim usaha ekspor untuk UMKM belum dibuat bergairah. Seharusnya ada upaya khusus agar produk UMKM bisa masuk sesuai kebutuhan negara tujuan,” kata Ikhsan yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (12/8/2018).
Menurut Ikhsan, pemerintah mesti mereformasi rantai ekspor UMKM, mulai dari pendampingan, permodalan, hingga penjualan. UMKM yang produknya berpotensi ekspor, seperti cinderamata perak dan tekstil, masih mengandalkan bahan baku impor. Bahan baku perak dalam negeri justru dikuasai kartel-kartel besar. Perak mentah langsung dijual untuk ekspor, sementara UMKM membutuhkan perak setengah jadi.
Pelaku UMKM juga kesulitan mengurus izin ekspor yang disamakan dengan pengusaha besar. Ongkos mengurus sertifikat standar nasional indonesia (SNI) sebagai syarat ekspor yang besarnya hingga jutaan rupiah harus diperbarui setiap 6 bulan. Padahal, jumlah produk ekspor UMKM relatif kecil. “Rantai ekspor ini mesti disehatkan dulu, jangan sampai ada kendala,” katanya.
Produk UMKM cukup potensial meningkatkan ekspor dan menambah cadangan devisa. Pada Januari-Juni 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,02 miliar dollar AS. Adapun transaksi berjalan triwulan II-2018 defisit 8 miliar dollar AS atau 3 persen PDB.
Secara terpisah, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, pemerintah perlu serius dan konsisten menggenjot ekspor produk UMKM. Produktivitas UMKM yang dipacu harus berbasis industri pengolahan, bukan penyalur barang. Fundamen ekonomi dan tata kelola UMKM berbasis industri harus diperbaiki agar mampu menciptakan produk berdaya saing.
Perlu waktu
Pelaku UMKM yang terbiasa berjualan secara konvensional membutuhkan waktu untuk beralih ke pemasaran secara dalam jaringan. Mereka membutuhkan bukti nyata manfaat pemasaran daring tersebut.
"Begitu mendapat transaksi pertama, istilahnya pecah telur, maka transaksi berikutnya akan mengalir," kata Syafria Ningsih, wirausaha penyalur produk busana muslim, di Medan, Sumatera Utara, akhir pekan lalu.
Syafria semula memasarkan produk secara konvensional. Pada 2017, Syafria aktif memasarkan produknya di laman daring Bukalapak. (KRN/CAS)