Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump sedang bekerja keras memulihkan defisit neraca perdagangan. Tak hanya China, namun sejumlah negara, termasuk Indonesia, menjadi sasaran. Berbagai strategi perdagangan ditempuh, seperti peningkatan tarif, pengembangan kasus sengketa dagang, dan meninjau kembali keistimewaan tarif sejumlah negara.
Negeri Paman Sam sedang meninjau kembali kebijakan pembebasan tarif (generalized system of preferences/GSP) yang selama ini diberikan kepada Indonesia. Pada 2 Agustus 2018, AS juga mengajukan retaliasi berupa penangguhan konsensi tarif kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas sejumlah produk Indonesia senilai 350 juta dollar AS atau sekitar Rp 5 triliun. Melalui penangguhan itu, AS akan mengenakan tarif baru atas sejumlah produk Indonesia secara bertahap.
Sengketa dagang bermula pada 8 Mei 2014. AS bersama Selandia Baru mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO. Kedua negara itu menilai kebijakan pembatasan impor Indonesia atas produk hortikultura, hewan, dan produk hewan bertentangan dengan Ketentuan Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) WTO 1994.
Ada sejumlah regulasi Indonesia yang dinilai menghambat. Dua diantaranya, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Produk Impor Hortikultura (RPIH) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH).
Dari hasil penyelidikan WTO, ada 18 tindakan Indonesia yang bertentangan dengan GATT, yang terdiri dari 9 tindakan untuk produk hortikultura dan 9 tindakan untuk hewan dan produk hewan. Pada 2017, AS mencatat kerugian pelaku bisnis mereka 350 juta dollar AS. Adapun kerugian pelaku bisnis menurut perhitungan Selandia Baru 673 juta dollar AS.
WTO memenangkan gugatan kedua negara itu pada 26 Desember 2016 dan merekomendasikan Indonesia untuk menyesuaikan sejumlah regulasi. Indonesia mengajukan banding ke Badan Banding WTO. Dalam banding itu, Indonesia menyatakan telah merevisi kedua regulasi tersebut. Namun, Badan Banding WTO menguatkan rekomendasi DSB.
Dalam perundingan selanjutnya, WTO sepakat Indonesia akan melakukan penyesuaian tahap pertama paling lambat 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019. Indonesia menyatakan telah merevisi Permendag dan Permentan. Indonesia masih harus merevisi Undang-undang Pangan, Hortikultura, serta Peternakan dan Kesehatan Hewan paling lambat 22 Juni 2019. Namun, AS menilai penyesuaian itu belum cukup.
Pukulan ganda
Di tengah defisit neraca perdagangan pada Januari-Juni 2018 senilai 1,02 miliar dollar AS, Indonesia mengalami tekanan dari AS. Ekspor Indonesia ke AS berpotensi terhambat jika WTO menyetujui permohonan retaliasi AS. Di sisi lain, impor Indonesia dari AS berpotensi meningkat karena ada penyesuaian regulasi.
Apalagi, pada akhir Juli, Indonesia-AS sepakat meningkatkan nilai perdagangan menjadi 50 miliar dollar AS. Nilai perdagangan kedua negara pada 2017 sebesar 25,9 miliar dollar AS. Hambatan dan kesepakatan perdagangan itu berpotensi menyebabkan impor nonmigas Indonesia dari AS meningkat.
Padahal, pada paruh pertama tahun ini, impor Indonesia meningkat signifikan. Peningkatan impor menghambat pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2018 sebesar 5,27 persen dalam setahun. Pertumbuhan impor pada triwulan II-2018 sebesar 15,17 persen dan ekspor 7,7 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dari selisih ekspor dan impor minus 1,21 persen secara tahunan. Peningkatan impor juga membuat transaksi berjalan defisit 8 miliar dollar AS atau 3 persen dari produk dometik bruto.
Pukulan ganda dari AS tak hanya soal neraca perdagangan. Penyesuaian regulasi akan mendorong perubahan kebijakan nasional yang selama ini sangat dibutuhkan petani dan pelaksanaan agenda kedaulatan pangan. Kebijakan pembatasan impor Indonesia adalah mengutamakan penyerapan produksi domestik untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
Tantangan itu baru dari AS. Ada kemungkinan juga Selandia Baru akan mengikuti langkah AS, mengajukan retaliasi ke WTO. Untuk itu, Indonesia perlu menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi AS tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. Keberpihakan kepada petani dan agenda kedaulatan pangan tetap harus berjalan. (HENDRIYO WIDI)