JAKARTA, KOMPAS - Perubahan sejumlah regulasi impor paska kekalahan Indonesia dari Amerika Serikat dan Selandia Baru tidak dapat dihindari. Impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan berpotensi meningkat. Hal itu perlu diantisipasi dengan memperkuat sektor hortikultura di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Hortikultura Nasional Ramdansyah Bakir kepada Kompas, Selasa (14/8/2018), mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki dua pilihan. Tetap pada jalur perdagangan bebas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau keluar dari WTO.
Jika tetap pada jalur WTO, Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan sejumlah regulasi yang telah direkomendasikan WTO. Dampaknya, impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan berpotensi naik, karena regulasi yang disesuaikan itu akan berlaku juga bagi negara-negara selain AS dan Selandia Baru.
"Kendati begitu, importir pasti akan mempertimbangkan kondisi di dalam negeri. Jika hasil hortikultura di dalam negeri berlimpah, mereka pasti akan mengurangi atau bahkan menunda impor. Ini merupakan mekanisme pasar," ujarnya.
Menurut Ramdyansyah, pemerintah tidak boleh tinggal diam dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Perkuatan produksi dan produk hortikultura di dalam negeri juga diperlukan.
Misalnya saja dengan memperkuat kluster-kluster hortikultura di dalam negeri. Saat ini, kluster-kluster tersebut membutuhkan gudang dan angkutan logistik berpendingin untuk menjaga kualitas hasil produksi mulai dari panen hingga ke pasar.
"Perum Bulog dapat bekerja sama dengan kluster-kluster hortikultura untuk menyediakan gudang berpendingin. Dengan begitu, para petani bisa menjaga kualitas produk dan menjual produk itu di saat harga di pasar bagus," kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, saat ini kekuatan pemerintah tengah diuji, bagaimana untuk bisa menjalankan agenda nasional di tengah tekanan-tekanan dari luar, baik itu WTO maupun negara-negara lain yang mengajukan protes terhadap kebijakan Indonesia.
Semestinya pemerintah melakukan kajian dan mengumpulkan fakta-fakta akan manfaat dan dampak negatif dari regulasi yang dijalankan. Kemudian, pemerintah dapat membandingkannya dengan praktik-praktik serupa yang banyak diberlakukan di negara-negara lain.
"Beberapa negara lain bisa menjalankan kebijakan dan regulasi yang pada dasarnya merupakan serupa dengan restriksi impor, termasuk di bidang pangan, tapi dibungkus sedemikian rupa agar tidak secara frontal melanggar aturan WTO," ujarnya.
Faisal menambahkan, kegagalan Indonesia atas gugatan itu menjadi pembelajaran. Advokasi dan diplomasi perdagangan perlu diperkuat di tengah meningkatnya proteksi perdagangan, sehingga kepentingan nasional tetap terwadahi.
Sebelumnya, AS dan Selandia Baru memenangi gugatan atas produk hortikultura, hewan, dan produk hewan di WTO. WTO merekomendasikan agar Indonesia menyesuaikan regulasi-regulasi yang dinilai menghambat ekspor produk-produk tersebut.
Tahap awal perubahan adalah Peraturan Menteri Pertanian (permentan) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) karena batas waktunya 22 Juli 2018. Selanjutnya, Indonesia akan merevisi UU Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, paling lambat 22 Juni 2019.
Perubahan itu, misalnya, terdapat di Permentan Nomor 24/2018 yang merevisi Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam regulasi itu, Pasal 6 Permentan lama yang mengatur pembatasan atau larangan impor produk hortikultura pada masa panen dihapus.
Perubahan itu dinilai melanggar UU Nomor 19/2013 Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013. Pasal 15 UU itu menyebutkan, produksi dalam negeri harus diutamakan, dan impor komoditas pertanian tidak boleh pada saat musim panen dan harus menyesuaikan kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Belum usai Indonesia menyesuaikan regulasi, AS mengajukan retaliasi senilai 350 juta dollar AS terhadap produk-produk dari Indonesia kepada WTO.