JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah kebijakan yang telah diubah pemerintah pasca kekalahan Indonesia dari Amerika Serikat dan Selandia Baru berpotensi merugikan kepentingan nasional dan melanggar undang-undang. Petani, peternak, dan kedaulatan pangan Indonesia menjadi terancam karena regulasi-regulasi impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, semakin longgar.
Perubahan itu misalnya terdapat di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24/2018 yang merevisi Permentan Nomor 38/2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam regulasi itu, pasal 6 Permentan lama yang mengatur pembatasan atau larangan impor produk hortikultura di masa panen dihapus.
Surat pernyataan tidak memasukkan produk hortikultura segar melebihi waktu enam bulan sejak panen, juga dihapus. Selain itu, sanksi bagi importir yang melanggar ketentuan itu diperlunak, hanya setahun tidak mendapatkan RIPH. Saksi 3 tahun berturut-turut tidak mendapat RIPH telah dihapus.
Kementerian Perdagangan juga memperlonggar regulasi impor terkait dengan produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Misalnya di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20/2018) yang merupakan revisi atas Permendag 59/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
Di regulasi itu, impor hewan dan produk hewan tidak lagi melalui kepabeanan. Persyaratan importir juga diperlonggar, yaitu importir cukup membuat surat pernyataan sendiri (self declaration) bahwa telah memenuhi persyaratan impor.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti kepada Kompas, Senin (13/8/2018), mengatakan, penghapusan pembatasan impor pada masa panen akan merugikan petani. Harga produk hortikultura di dalam negeri pasti akan jatuh dan serapan pasar akan minim karena kalah dengan produk-produk impor.
Regulasi itu juga akan berlaku umum bagi negara-negara lain, tidak hanya AS. Hal itu akan semakin membuat produk-produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, akan semakin membanjir.
“Perubahan itu juga melanggar Undang-undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19/2013 yang mengatur mengenai impor pangan. Pasal 15, yaitu utamakan produksi dalam negeri dan impor komoditas pertanian tidak boleh pada saat musim panen dan harus menyesuaikan kebutuhan konsumsi dalam negeri,” ujarnya.
Perubahan itu juga melanggar Undang-undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomer 19/2013 yang mengatur mengenai impor pangan.
Mirisnya, lanjut Rachmi, UU itu juga akan diubah bersama dengan UU yang lain, seperti UU Pangan, Hortikultura, dan Peternakan. Ini menunjukkan pemerintah lebih taat pada perjanjian internasional ketimbang konsitusi.
Terkait dengan pemeriksaan di luar kawasan kepabeanan, Rachmi berharap agar tetap dilakukan pemeriksaan di karantina. Hal itu guna menjamin produk impor hortikultura, hewan, dan produk hewan, aman dikonsumsi konsumen.
Revisi
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengemukakan, Kemendag dan Kementerian Pertanian telah mengubah sejumlah regulasi sesuai rekomendasi WTO. Tahap awal perubahan adalah permentan dan permendag karena batas waktunya 22 Juli 2018.
Selanjutnya, Indonesia akan merivisi UU paling lambat nanti pada 22 Juni 2018. Pada 15 Agustus nanti, perwakilan Indonesia dan AS akan bertemu di Jenewa. Indonesia ingin memaparkan terkait perubahan regulasi yang sudah dilakukan, sekaligus ingin mendalami maksud dari retaliasi AS.
“Soal melanggar UU atau tidak, perubahan permendag hanya mengacu pada perubahan permentan. Adapun terkait produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, tetap wajib masuk pemeriksaan karantina,” kata dia.
Sebelumnya, AS dan Selandia Baru memenangi gugatan atas produk hortikultura, hewan, dan produk hewan di WTO. WTO merekomendasikan agar Indonesia menyesuaikan regulasi-regulasi yang dinilai menghambat ekspor produk-produk tersebut. Belum usai Indonesia menyesuaikan regulasi, AS mengajukan retaliasi senilai 350 juta dollar AS terhadap produk-produk dari Indonesia kepada WTO.