A Prasetyantoko -- Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·4 menit baca
Persepsi tentang prospek ekonomi tak lagi berbasis pada statistik kinerja produksi atau pasar modal, melainkan identitas politik. Begitu The New York Times mengeluhkan situasi terkini di Amerika Serikat. Menghadapi fakta statistik yang sama, pendukung Presiden Trump dan lawan politiknya mengambil kesimpulan yang sama sekali berbeda. Mungkin kecenderungan itu tengah menjadi kehendak sejarah, terjadi di banyak sudut dunia.
Di negara kita, peta kontestasi pemilihan presiden 2019 terpampang pada Jumat lalu. Pasangan calon presiden-wakil presiden 2019 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin berhadapan dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Setelah itu, meluncur pertanyaan, pasangan mana yang akan lebih baik mengelola perekonomian? Urgensi isu ekonomi tak bisa dinafikan, mengingat tekanan eksternal semakin besar, sementara persoalan domestik tak kalah rumit.
Akhir-akhir ini, pemilihan pemimpin negara di banyak sudut dunia dihantui gejala menguatnya pemilih kelompok kanan (nasionalis) yang berorientasi pada kepentingan domestik. Di Amerika Serikat, gerakan mengutamakan kepentingan dalam negeri (America first) menjadi penentu kemenangan Trump sebagai presiden. Tekanan untuk mengakomodasi kelompok kepentingan partikular nampaknya juga terjadi di negara kita.
Pemilu di mana pun merupakan proses politik yang sarat dengan berbagai kompromi. Mungkin banyak yang kecewa, Joko Widodo tak memilih calon wakil presiden dari kalangan profesional, melainkan figur agamawan. Tentu saja ini bagian dari kompromi. Stabilitas sosial-politik ingin dicapai dengan cara mengakomodasi kelompok berbasis agama agar pemerintah bisa menjalankan program kerja dengan baik, khususnya di bidang ekonomi.
Argumen itu tentu hanya akan valid jika kabinet yang dibentuk nantinya benar-benar terdiri dari profesional yang berorientasi kerja. Jika penyusunan kabinet masih terlalu besar mengakomodasi kepentingan partai pendukung, maka pemerintah tak akan maksimal kinerjanya. Namun, siapa pun yang menang akan menghadapi fakta yang tak mudah di bidang perekonomian.
Pertama, situasi global masih belum akan stabil dalam beberapa tahun ke depan. Perekonomian AS membaik di hampir semua indikator, namun banyak pihak menyangsikan keberlanjutannya. Pusaran perhatian tak lagi hanya soal kebijakan moneter The Fed, namun pada perang dagang, khususnya dengan China. Perang dagang akan membuat perdagangan global melambat dan akhirnya pertumbuhan ekonomi global juga akan terkoreksi dalam jangka menengah dan panjang.
Profesor ekonomi terkemuka dari University of California Berkeley, J Bradford Delong, dalam tulisannya di laman project-syndicate mengatakan kebijakan The Fed akhir-akhir ini cenderung mengabaikan sejarah dan tak berorientasi jangka panjang. Hal ini terkait rencana The Fed menaikkan suku bunga secara progresif pada tahun ini dan tahun depan, dengan berbasis pencapaian pada inflasi di atas 2 persen. Indikator ini oleh banyak kalangan sama sekali belum memadai untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Jika terlalu cepat menaikkan suku bunga, bisa jadi justru akan menghantam balik prospek pemulihan.
Kedua, ketidakpastian global yang masih akan berlanjut membuat perekonomian domestik kita cenderung melambat. Berbeda dengan perekonomian tetangga kita, seperti Malaysia dan Thailand, perekonomian kita sangat sensitif terhadap gejolak global, mengingat fundamen kita yang tergolong rapuh. Gejolak ekonomi di Turki belakangan ini memberi pelajaran berharga, situasi fundamen domestik yang tak ditangani dengan benar (secara politik) bisa berakibat fatal.
Kerapuhan perekonomian
Kerapuhan perekonomian domestik terlihat dari gejala paradoksal yang kita alami pada triwulan II-2018. Produk domestik bruto (PDB) triwulan II-2018 tumbuh 5,27 persen secara tahunan. Pencapaian ini lebih tinggi dari proyeksi banyak ekonom, sekaligus menjadi pencapaian tertinggi sejak lima tahun terakhir. Di sisi lain, perbaikan kinerja pertumbuhan diikuti memburuknya transaksi berjalan. Pertumbuhan didorong konsumsi domestik yang sebagian besar komponennya masih impor.
Pada triwulan II ini, impor tumbuh 15,17 dalam setahun atau tertinggi sejak 2014. Sementara, ekspor hanya tumbuh 7,7 persen. Defisit transaksi berjalan triwulan II-2018 naik menjadi 3 persen PDB. Dilemanya, jika ingin menurunkan transaksi berjalan, maka pertumbuhan akan terkoreksi. Sebaliknya, jika ingin mendorong pertumbuhan, transaksi berjalan harus dikorbankan.
Situasi dilematis ini menunjukkan, kita masih tergantung pada sumber pertumbuhan eksternal, sehingga untuk mendorong pertumbuhan memerlukan lebih banyak sumber daya asing. Agenda pokok perekonomian kita adalah menumbuhkan sumber daya domestik agar mampu menopang pertumbuhan pada level yang lebih tinggi.
Pertama, sektor produktif yang berorientasi ekspor harus digerakkan secara masif agar aktivitas perekonomian menghasilkan devisa. Selama ini, aktivitas perekonomian masih digerakkan konsumsi domestik. Cita-cita bersama untuk meningkatkan sektor produktif, ditandai dengan peningkatan aktivitas investasi, masih belum terjadi. Masalah bertambah ketika eskpor andalan kita, yang masih berbasis komoditas, mulai menurun akibat permintaan global yang lesu. Jika diperas, salah satu problematika dasar perekonomian kita ke depan adalah meningkatkan investasi berorientasi ekspor melalui industri berbasis manufaktur.
Kedua, memperkuat pendanaan yang bersumber dari perekonomian domestik. Tugas ini sangat berat, karena selain sumber pendanaan masih sangat terbatas, tingkat inklusinya juga masih relatif rendah. Upaya melakukan mobilisasi pendanaan domestik bisa dijalankan dengan strategi inklusi keuangan.
Tentu ada banyak kalkulasi teknis-teknokratis yang harus dilakukan, sehingga siapa pun pemenang pemilu 2019 tak punya kemewahan membentuk tim kabinet yang kompromistis. Keuntungan bagi calon yang sudah selesai tingkat komprominya pada level calon wakil presiden, akan memiliki ruang lebih besar membentuk pemerintahan yang teknokratis. Namun, dalam politik, semuanya serba tak pasti. Menguat dan meredupnya kekuatan kelompok kepentingan akan terus jadi faktor penentu.