Dua pejabat Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang dicopot dari jabatan dalam tiga tahun terakhir, dalam wawancara khusus dengan Kompas, menyampaikan, ada pihak yang tak senang dengan rencana Indonesia membangun kilang minyak baru. Pihak yang tak senang itu selalu mengatakan, perlu biaya sangat mahal dan kurang menguntungkan secara bisnis untuk membangun kilang di Indonesia.
Salah seorang pejabat itu juga berkata, mereka yang tak senang dengan rencana pembangunan kilang baru di Indonesia berupaya agar rencana itu tidak terwujud. Ia menyebutkan, ada kelompok tertentu yang bisnisnya akan terganggu apabila pembangunan kilang baru benar-benar terwujud.
Kilang, yang fungsi utamanya mengolah minyak mentah untuk dijadikan bahan bakar minyak (BBM), juga mampu memproduksi minyak pelumas atau produk petrokimia lain. Namun, diakui, pembangunan kilang belum menyelesaikan masalah hulu di Indonesia, yaitu defisit produksi minyak mentah. Produksi minyak mentah nasional masih kurang dari kebutuhan untuk diolah menjadi BBM.
Konsumsi BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barrel per hari hingga 1,6 juta barrel per hari tak cukup dipenuhi dari produksi minyak nasional yang kurang dari 800.000 barrel per hari. Praktis, kekurangan tersebut harus dipenuhi dari impor. Selain itu, Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak sejak 2004. Persoalan berlanjut dari sini.
Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan triwulan II-2018 sebesar 8 miliar dollar AS atau lebih besar dari defisit triwulan I-2018 yang sebesar 5,7 miliar dollar AS. Hal ini dipengaruhi penurunan surplus neraca perdagangan nonmigas seiring kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi kenaikan harga minyak mentah dunia dan permintaan yang meningkat.
Respons pemerintah, salah satunya, dengan kebijakan kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar. Kebijakan yang dikenal sebagai B20—setiap liter solar mengandung 20 persen biodiesel—disebut dapat menghemat devisa sekitar 3,4 miliar dollar AS. Namun, kebijakan ini belum memperbaiki defisit neraca perdagangan dalam waktu singkat.
Respons pemerintah patut dihargai. Namun, mengutip pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, pemerintah terlalu reaktif dengan kebijakan B20. Pasalnya, defisit ini bukan persoalan baru. Status sebagai negara net importir minyak sudah disandang sejak 14 tahun lalu.
Seharusnya, persoalan yang sudah terakumulasi dan terstruktur itu sudah ada peta jalan solusinya. Bukan tiba-tiba, yang salah satunya, mendorong peningkatan pemakaian biodiesel di tengah uji pakai biodiesel sejumlah moda transportasi. Apalagi, kebijakan ini juga masih dibayangi sejumlah catatan yang harus segera dituntaskan.
Di hulu, pemerintah harus mendorong agar iklim investasi menjadi kian menarik. Tujuannya satu, yaitu menemukan cadangan minyak baru dan meningkatkan produksi. Namun, data menunjukkan sebaliknya. Realisasi investasi sektor energi dan sumber daya mineral turun dari 33,5 miliar dollar AS pada 2014 menjadi 27,5 miliar dollar AS pada 2017.
Begitu pula dalam produksi siap jual minyak atau lifting. Dari tahun ke tahun angkanya mengecil. Saat ini, lifting minyak sekitar 770.000 barrel per hari atau masih di bawah target APBN 2018 yang sebanyak 800.000 barrel per hari.
Kendati masih ada masalah dalam hal produksi minyak mentah, kita sebaiknya bisa mengurangi satu masalah saja, yaitu mengurangi impor BBM dengan membangun kilang baru. Apalagi, konsumsi BBM nasional diperkirakan membengkak menjadi 2 juta barrel per hari pada 2024 atau 2025. Sesulit apa pun dan berhadapan dengan rintangan apa pun, pembangunan kilang baru mutlak direalisasikan. (Aris Prasetyo)