Berbagai isu muncul di media sosial. Media sosial menjadi tempat untuk membahas persoalan serius, sekadar lucu-lucuan, hingga berisik yang malah memunculkan kesalahan persepsi yang bisa menyusahkan pengambil keputusan. Salah satu yang perlu dan mendesak ditangani adalah penyebaran informasi pelemahan rupiah dan mengendalikan persepsi warganet yang jika didiamkan bisa runyam.
Turki tengah mengalami masalah ini. Mereka merasa banyak konten di media sosial yang provokatif dan memunculkan persepsi negatif tentang ekonomi mereka sejak mata uang Turki, lira, melemah terhadap dollar AS hingga di atas 40 persen sejak awal tahun ini. Kementerian Dalam Negeri Turki menyebutkan, sebanyak 346 akun media sosial telah teridentifikasi sejak 7 Agustus lalu menyebarkan konten dan komentar yang salah mengenai pelemahan itu.
Pemerintah Turki tengah melakukan investigasi terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam upaya untuk meruntuhkan perdamaian sosial, persatuan, dan keyakinan terhadap ekonomi mereka. Otoritas pasar keuangan setempat juga menyatakan, mereka bisa mendenda atau memenjarakan orang yang menyebarkan berita bohong atau berita fabrikasi. Sontak saja, cara-cara Pemerintah Turki ini dinilai sebagai mencari-cari kesalahan pihak lain dan juga dikesankan menyalahkan media sosial alias main tuduh.
Dari kejadian di Turki kita bisa belajar banyak. Terlepas dari kemungkinan asal main tuduh atau ada motif politik lainnya, pada kenyataannya Pemerintah Turki kelimpungan menghadapi perbincangan di media sosial. Upaya untuk menginvestigasi akun-akun media sosial—di tengah masalah yang tengah bergulung-gulung—akan dipersepsikan menyalahkan pihak lain dibandingkan sebagai upaya mereka untuk menangani pelemahan lira.
Aktivitas di media sosial tidak bisa dicegah, tetapi bisa dikendalikan. Salah satu yang bisa dikendalikan adalah memberi pemahaman sejak awal mengenai masalah pelemahan ini. Bahasa pemerintah atau bahasa bank sentral sangat berbeda dengan bahasa di media sosial. Otoritas harus mencari cara-cara yang tepat untuk berbicara di media sosial. Bahasa birokrasi yang dipakai dalam kehidupan nyata sangat berbeda dengan bahasa warganet.
Sejumlah istilah mendasar masih membutuhkan ”pembahasan” yang memadai di media sosial. Kita perlu berasumsi bahwa warganet membutuhkan pemahaman yang mudah dan sederhana mengenai masalah pelemahan rupiah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari. Langkah strategis dilakukan, seperti memantau perbincangan di media sosial dan memprofil akun-akun yang berbicara pelemahan rupiah. Komunikasi dengan para pemilik akun diperlukan ketika masalah ini belum menjadi runyam sehingga kelak tak ada tuduhan menyalahkan media sosial seperti yang dialami Turki.
Mengendalikan persepsi terkait dengan pelemahan rupiah menjadi langkah antisipasi sebelum terjadi kekeruhan di media sosial. Apabila tiba-tiba keruh, otoritas akan makin sulit membalikkan persepsi.