JAKARTA, KOMPAS – Importir tetap akan memperhitungkan masa panen kendati ketentuan itu dihapus oleh pemerintah. Mereka juga siap meningkatkan perdagangan hortikultura antarpulau asal pemerintah serius menggarap kluster-kluster hortikultura di daerah-daerah.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo), Khafid Sirotudin, Jumat (17/8/2018) mengatakan, ada aturan atau tidak ada aturan impor di luar masa panen, importir pasti tetap memperhitungkan masa panen. Kalau hal itu tidak diperhitungkan, importir bisa merugi karena harga buah di dalam negeri saat ini lebih murah ketimbang buah impor.
Khafid mencontohkan, sejak 20 tahun lalu Indonesia mengimpor buah naga. Sejak buah naga dibudidayakan di dalam negeri, impor buah tersebut, terutama buah warna merah, semakin berkurang.
“Harga buah naga impor di negara asal sekitar 3 dollar AS per kg. Adapun harga buah naga di dalam negeri saat penen berlimpah sekitar Rp 12.000 – Rp 18.000 per kg. Kalau harga di dalam negeri lebih murah, kami bisa rugi apabila tetap mengimpor,” kata dia.
Khafid menyatakan hal itu terkait dengan perubahan sejumlah kebijakan impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, pasca-kekalahan Indonesia dari Amerika Serikat dan Selandia Baru di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Perubahan itu, misalnya, terdapat di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 24 Tahun 2018 yang merevisi Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam regulasi itu, Pasal 6 Permentan lama yang mengatur pembatasan atau larangan impor produk hortikultura pada masa panen dihapus.
Perubahan Permentan itu dinilai melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasal 15 UU itu menyebutkan produksi di dalam negeri harus diutamakan, serta impor komoditas pertanian tidak boleh pada saat musim panen dan harus menyesuaikan kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Menurut Khafid, Aseibssindo tetap berkomitmen mengembangkan perdagangan hortikultura di dalam negeri dan meningkatkan ekspor hortikultura. Namun, pemerintah perlu mengimbanginya dengan perkuatan kluster hortikultura di daerah-derah melalui pengembangan zonasi.
Dalam pengembangan zonasi itu, perlu ditentukan satu wilayah menanam satu varietas buah ataupun sayuran berdasar karakteristik wilayah itu. Jika arahnya untuk industri dan ekspor, minimal luas perkebunannya adalah 500 hektar.
“Kami akan membantu petani dan pemerintah dalam penanganan pascapanen. Misalnya melalui penyediaan gudang dan kendaraan berpendingin, serta pengemasannya,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, regulasi-regulasi itu memang perlu disesuaikan seturut rekomendasi WTO. Kalau hal itu tidak dilakukan, Indonesia akan dikucilkan atau terkena retaliasi yang berpotensi merugikan ekonomi dalam negeri.
“Pemerintah Indonesia pasti mempunyai cara sendiri agar produk-produk impor tidak membanjiri pasar dalam negeri. Seperti juga negara-negara lain yang melakukannya,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, saat ini kekuatan pemerintah tengah diuji, bagaimana untuk bisa menjalankan agenda nasional di tengah tekanan-tekanan dari luar, baik itu WTO maupun negara-negara lain yang mengajukan protes terhadap kebijakan Indonesia.
Semestinya pemerintah melakukan kajian dan mengumpulkan fakta-fakta akan manfaat dan dampak negatif dari regulasi yang dijalankan. Kemudian, pemerintah dapat membandingkannya dengan praktik-praktik serupa yang banyak diberlakukan di negara-negara lain.
"Beberapa negara lain bisa menjalankan kebijakan dan regulasi yang pada dasarnya merupakan serupa dengan restriksi impor, termasuk di bidang pangan, tapi dibungkus sedemikian rupa agar tidak secara frontal melanggar aturan WTO," ujarnya.
Faisal menambahkan, kegagalan Indonesia atas gugatan itu menjadi pembelajaran. Advokasi dan diplomasi perdagangan perlu diperkuat di tengah meningkatnya proteksi perdagangan, sehingga kepentingan nasional tetap terwadahi.