Izin Impor Ditambah Jadi 2 Juta Ton, Jaga Harga di Petani
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor beras tahap III kepada Perum Bulog sehingga secara total kuota impor yang diizinkan mencapai 2 juta ton tahun ini. Tambahan impor dinilai perlu untuk antisipasi dampak kekeringan sekaligus kecenderungan naiknya harga dua pekan terakhir. Namun, pemerintah perlu menjaga harga di tingkat petani agar tetap layak.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, kuota impor pada izin tahap I dan II masing-masing 500.000 ton. Adapun tahap III sebanyak 1 juta ton. Tambahan impor diputuskan oleh rapat koordinasi tiga bulan lalu. Tambahan diperlukan untuk stabilisasi harga dan cadangan beras pemerintah.
Awalnya, izin tahap III berlaku hingga akhir Agustus 2018. Namun, Perum Bulog mengajukan perpanjangan hingga September 2018. Saat dikonfirmasi, Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar mengatakan, impor beras mengacu pada pernyataan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, yakni 500.000 ton. Selebihnya, stok beras di gudang diklaim aman.
Badan Pusat Statistik mencatat, Bulog telah mengimpor 1,18 juta ton sepanjang Januari-Juli 2018. Terkait dengan impor, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro enggan memberikan tanggapan. ”Tanyakan kepada Kementerian Perdagangan dan Bulog. Ranah kami di sektor produksi,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (17/8/2018).
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menyatakan, Kementerian Pertanian memproyeksikan kebutuhan beras nasional tahun 2018 berkisar 33 juta ton. Sementara produksi beras nasional diperkirakan mencapai 47 juta ton.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa berpendapat, kebijakan impor tahap III dilakukan pada waktu yang tepat. Sebab, ada 30 persen lahan yang terimbas kekeringan. Dampak kekeringan tampak dari kenaikan harga gabah di tingkat petani rata-rata sebesar Rp 200 per kilogram (kg) menjadi Rp 4.600 per kg dua pekan terakhir. Kenaikan dalam dua pekan di masa panen menjadi peringatan dini.
Menurut Andreas, pemerintah perlu menggelontorkan beras untuk intervensi pasar pada Oktober 2018-Januari 2019. ”Periode itu merupakan musim paceklik. Cadangan beras di gudang tingkat petani kosong,” ujarnya.
Meski demikian, impor dinilai menyakiti petani. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menyatakan, petani khawatir beras impor membanjiri pasar dan menurunkan harga di tingkat petani. Akibatnya, petani beralih ke komoditas lain, seperti jagung.
Pola dua tahunan
Impor beras yang melonjak hingga 2 juta ton pada 2018, menurut Andreas, merupakan imbas dari keterlambatan keputusan impor pada 2017. Pola ini berulang setiap dua tahun. Sebelumnya, lonjakan impor terjadi pada 2016 akibat keterlambatan impor 2015.
Oleh karena itu, data produksi padi yang akurat dan presisi menjadi indikator penting dalam kebijakan keputusan impor. Ancaman kekeringan dan hama patut diperhitungkan dalam data tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), ada tren yang menunjukkan hubungan berkebalikan antara luas lahan panen menurut citra satelit dan jumlah impor beras. Ketika luas lahan panen menurun, impor meningkat.