JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah berkomitmen meningkatkan daya saing produk pertanian dalam negeri, khususnya hortikultura dan peternakan, terkait revisi sejumlah peraturan untuk memenuhi ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Namun, para pelaku usaha menilai komitmen itu percuma jika tidak diikuti langkah-langkah komprehensif.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menuturkan, revisi itu merupakan konsekuensi Indonesia sebagai anggota WTO. Di sisi lain, usaha untuk meraih cita-cita kedaulatan pangan nasional tetap harus berjalan.
Oleh karena itu, program-program peningkatan daya saing produk pertanian dan peternakan menjadi andalan. Syukur mencontohkan, peningkatan efisiensi pengelolaan pertanian atau peternakan serta profesionalisme petani atau peternak.
Secara umum, program-program andalan itu diterjemahkan lewat penyuluhan, pembinaan, dan pelatihan. Dalam prosesnya, petani atau peternak yang berprestasi akan dikirim ke Selandia Baru atau Jepang untuk magang.
Apabila berhasil, Syukur menyatakan, srategi tersebut dapat menekan biaya produksi. Harga produk pertanian dan peternakan dalam negeri dapat bersaing sehingga berpotensi diserap masyarakat. "Saya optimistis, produk dalam negeri siap bersaing dengan produk luar (negeri)," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (17/8/2018).
Akan tetapi, penjaminan perlindungan lewat instrumen hukum tetap dibutuhkan. "Kami mendesak pemerintah untuk memberlakukan aturan yang lama," ujar Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim saat dihubungi, Minggu (19/8/2018).
Aturan lama yang dimaksud Anton Muslim ialah Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura yang direvisi menjadi Permentan Nomor 24 Tahun 2018. Dalam aturan baru, waktu panen raya dalam negeri tak lagi jadi pertimbangan impor.
Perlu rinci
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia Anton J Supit, teknis strategi pemerintah dalam meningkatkan daya saing perlu diperinci. Misalnya, dengan pemberian kredit bagi peternak atau menurunkan harga jagung pakan.
Anton J S mencontohkan, pemerintah dapat memberikan fasilitas kredit kepada peternak yang menerapkan peternakan tertutup atau close house. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan unggas dari penyakit.
Peternak unggas juga membutuhkan kepastian turunnya harga jagung pakan dalam meningkatkan daya saing produk. Anton J S menyebutkan, 70 persen harga produk unggas ditentukan oleh pakan. Separuhnya pakan berupa jagung.
Saat ini, harga jagung pakan berkisar Rp 4.400 - Rp 4.500 per kilogram. Anton memperkirakan, harga jagung pakan dalam negeri Rp 1.000 lebih tinggi dibanding negara lain. Hal ini dapat menyebabkan produk unggas dalam negeri kalah bersaing dengan negara lain dari sisi harga.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana menyambut baik komitmen pemerintah tersebut. Namun, langkah-langkah dalam memproteksi produk dalam negeri lewat kebijakan tarif impor perlu diterapkan.
Faktor pakan juga disoroti oleh Teguh. Penyuluhan dan pembinaan yang diandalkan pemerintah diharapkan dapat menggerakkan sejumlah kelompok masyarakat dalam menanam tanaman hijau untuk pakan sapi.
Agar dapat berdaya saing melalui efisiensi produksi, Teguh berpendapat, skala ekonomi kepemilikan sapi di tingkat peternak harus ditingkatkan. Dia mencontohkan, peternak sapi perah saat ini rata-rata memiliki 2-4 ekor sapi. Padahal, seorang peternak idealnya secara skala ekonomi memiliki 10 ekor sapi. Dalam hal ini, kebijakan impor sapi indukan perlu dikaji dan diimplementasikan.