JAKARTA, KOMPAS - Produk mainan tidak berstandar nasional Indonesia atau SNI masih beredar di pasaran. Pengawasan pemerintah dinilai perlu ditingkatkan untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Situasi itu setidaknya terlihat di sentra mainan di Pasar Asemka, Jakarta Barat, dan Pasar Gembrong, Jakarta Timur, Minggu (19/8/2018). Mainan impor mendominasi lapak-lapak pedagang. Namun, sebagian di antara mainan-mainan itu tidak memiliki tanda SNI.
Andiano (20), penjual mainan di Pasar Gembrong menyatakan, mainan impor asal China jadi pilihan karena relatif murah. Namun, dia menjamin produk yang dia jual telah sesuai SNI. Anggi Satrio (18), pedagang lain di Pasar Gembrong mengatakan, selain lebih murah, mainan impor mudah ditemukan dan variatif.
Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standarisasi Nasional (BSN), Wahyu Purbowasito Setyo Waskito menyatakan, tanda SNI di mainan impor rawan pemalsuan. Tak hanya stiker yang mudah diduplikasi, pemeriksaannya pun tidak menyeluruh.
"Dalam satu kontainer mainan, hanya satu-dua sampel yang diperiksa. Setelah itu, semua mainan bisa mendapat standar SNI. Padahal, sampel bisa beda kualitas dengan yang di dalam kontainer," ujarnya.
Mainan impor diperiksa setelah pemohon mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian RI tentang Perubahan Kedua atas Peraturan tentang Pemberlakuan SNI Mainan Secara Wajib.
Dalam satu kontainer hanya satu-dua sampel yang diberiksa. Padahal, sampel bisa beda kualitas dengan yang di dalam kontainer.
Pengawasan
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, pengawasan yang lemah membuat mainan tanpa SNI bisa beredar di pasar domestik. "Mestinya pengawasan dari Kementrian Perdagangan, Perindustrian, dan Bea Cukai lebih intensif. Pengawasan bisa dilakukan di pelabuhan-pelabuhan, bandara, atau tempat masuk lain," ujarnya.
Penyelundupan mainan ke Indonesia diduga masih tinggi. Aktivitas ilegal itu dilakukan melalui pelabuhan kecil yang lemah pengawasan. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) Johan Tandanu menyatakan, model yang sering dipakai adalah borongan. Artinya, satu muatan berisi aneka jenis mainan buatan pabrik luar negeri, tanpa surat izin resmi, lalu dikirim ke pelabuhan kecil. (Kompas, 24/7/2018)
Cara lain, muatan dikirim ke negara persinggahan atau transit, lalu dikemas ulang dan diangkut dengan kapal ikan. Tujuannya adalah pelabuhan kecil di Indonesia. ”Pemain terbesar di industri mainan sekarang adalah China. Produksinya diekspor ke seluruh dunia. Barang sisa ekspor saja jadi rebutan pedagang. Mereka mengemasnya dalam satu muatan berisi aneka jenis bervolume besar,” ujar Johan.
Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia Sutjiadi Lukas menyebutkan, hingga akhir 2017, sekitar 65 persen pasar mainan dalam negeri berasal dari impor, 35 persen sisanya produksi lokal. Meski masih timpang, situasi dinilai lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah upaya pemerintah mengoptimalkan penertiban impor berisiko tinggi.