JAKARTA, KOMPAS--Impor minyak menjadi penyumbang defisit transaksi berjalan. Setidaknya, sejak 2016, neraca minyak selalu defisit, minimal 2 miliar dollar AS.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia yang dikutip Kompas, Minggu (19/8/2018), pada triwulan II-2018, neraca minyak defisit 4,4 miliar dollar AS. Hal ini menyumbang defisit transaksi berjalan yang sebesar 8 miliar dollar AS.
Pemerintah menyusun rencana jangka pendek dan jangka menengah-panjang untuk memperlambat impor minyak dan gas (migas). Selain untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, impor migas dikendalikan untuk menghemat cadangan devisa yang semakin tergerus.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, rencana jangka pendek direalisasikan tahun ini berupa pemberlakuan mandatori biodiesel 20 persen (B20) atau pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam satu liter solar dan menambah kuota produksi batubara. Adapun rencana kerja jangka menengah-panjang berupa optimalisasi dan pembangunan kilang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor hulu migas di Indonesia harus dibeli PT Pertamina (Persero). Hal itu lebih efisien ketimbang Pertamina mengimpor minyak mentah. Pemerintah sedang menyiapkan payung hukumnya.
"Jangan produksi dari sini (Indonesia) kemudian diekspor dan Pertamina impor dari luar ke sini. Yang pasti, Pertamina wajib beli," kata Jonan.
Produksi harian minyak mentah saat ini sekitar 775.000 barrel per hari. Minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor 225.000 barrel per hari dan yang menjadi bagian negara 550.000 barrel per hari. Dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional 1,5 juta barrel per hari, Indonesia masih perlu mengimpor 200.000 barrel-300.000 barrel minyak mentah per hari. Adapun impor BBM rata-rata 700.000 barrel per hari.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, upaya mengerem impor dibarengi peningkatan ekspor. Kementerian ESDM menyetujui penambahan kuota produksi batubara tahun ini sebanyak 25 juta ton tanpa dikenakan kewajiban penjualan domestik (domestic market obligation/DMO). Sebelumnya, batu bara yang disetujui untuk ekspor 485 juta ton.
“Setiap 10 juta ton batu bara yang diekspor tanpa DMO akan menghemat devisa 560 juta dollar AS. Jadi, kalau 25 juta ton bisa sekitar 1,5 miliar dollar AS akan ada penghematan,” katanya.
Selain itu, impor komponen infrastruktur di hulu migas dan ketenagalistrikan akan dikaji ulang. Kementerian ESDM tidak akan menerbitkan izin persetujuan impor jika komponen bisa diproduksi dalam negeri. Komponen produk dalam negeri akan diprioritaskan sesuai peraturan tingkat komponen dalam negeri.
Adapun rencana kerja jangka panjang, menurut pelaksana tugas Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, adalah restrukturisasi kilang.
Kebutuhan valas
Sementara itu, kebutuhan valuta asing selama semester I-2018 meningkat karena faktor musiman, seperti Lebaran, pembayaran dividen, dan bunga utang luar negeri. Di sisi lain, kebutuhan barang modal untuk menopang pembangunan infrastruktur semakin meningkat.
Faktor musiman ini juga menyebabkan impor migas, bahan baku dan penolong, serta barang konsumsi meningkat. Kebutuhan valuta asing semakin tinggi akibat rupiah melemah terhadap dollar AS.
Pada Januari-Juli 2018, rupiah terdepresiasi 7,04 persen dan berkisar Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar AS.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berharap program mandatori B20 segera terealisasi. Melalui upaya itu, defisit transaksi berjalan dapat dikurangi.
Bank Indonesia, tambah Perry, juga mengapresiasi langkah pemerintah menunda proyek-proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi.
Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, kebutuhan valas dalam jumlah besar untuk impor minyak mentah maupun BBM dan elpiji sudah diantisipasi. Pertamina telah menerapkan lindung nilai untuk transaksi yang menggunakan valas. Namun, ia menolak berkomentar lebih lanjut mengenai kebutuhan valas Pertamina. (KRN/HEN/APO)