Enny Sri Hartati --Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
·5 menit baca
Tanggal 17 Agustus 2018, Indonesia memasuki 73 tahun usia kemerdekaan. Salah satu kado istimewa, Indonesia mendapat kepercayaan untuk menyelenggarakan Asian Games ke-18. Di tengah tahun politik, seremonial pembukaan pesta olah raga terakbar di Asia tersebut berlangsung aman dan meriah. Sekalipun sebelumnya, dalam Sidang Paripurna, Pemerintah mendapat beberapa kritikan dari oposisi terkait kinerja bidang ekonomi. Selebihnya, stabilitas politik dan keamanan tidak perlu diragukan. Hal itu kian mengukuhkan Indonesia sebagai negara besar. Tidak hanya dipercaya mampu menyelenggarakan kegiatan internasional, namun sekaligus sebagai negara yang mampu berdemokrasi secara matang dan dewasa.
Kinerja perekonomian Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tekanan depresiasi nilai tukar rupiah tak kunjung reda, bahkan rupiah menyentuh Rp 14.600 per dollar AS. Disamping faktor eksternal, tekanan rupiah dipicu defisit neraca perdagangan yang cukup dalam pada Juli 2018, yakni 2,03 miliar dollar AS. Besarnya defisit mengejutkan, sebab Lebaran telah berlalu. Idealnya, rupiah yang terdepresiasi membuat impor semakin terkendali, terutama impor barang konsumsi. Sebaliknya, dapat sebagai momentum memacu ekspor. Nyatanya, pada Januari-Juli 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit 3,09 miliar dollar AS.
Apalagi, tekanan defisit Juli 2018 dari sektor migas 1,19 miliar dollar AS maupun nonmigas 0,84 miliar dollar AS. Sebagai negara pengimpor bersih bahan bakar minyak (BBM), defisit migas masih dapat ditoleransi. Konsekuensi dari depresiasi rupiah, impor migas melonjak tajam. Nilai impor minyak mentah 622 juta dollar AS, impor hasil minyak 1,709 miliar dollar AS, dan impor gas 284 juta dollar AS.
Namun, impor nonmigas juga melonjak, mencapai 15,656 miliar dollar AS. Ironisnya lagi, justru impor barang konsumsi yang meningkat paling fantastis, yakni naik 60,75 persen (tahunan). Adapun impor bahan baku naik 30,07 persen dan barang modal naik 24,81 persen.
Kenaikan impor bahan baku dan barang modal, sekilas masih memberikan sinyal positif, karena mestinya mengisyaratkan sektor industri manufaktur sedang bergeliat. Namun, sektor industri justru mengalami deindustrialisasi secara persisten. Bahkan, pada triwulan II-2018 hanya tumbuh 3,87 persen secara tahunan. Apalagi, Badan Pusat Statistis mencatat nilai persediaan barang atau inventori pada triwulan II-2018 meningkat, mencapai Rp 81,4 triliun. Nilai inventori yang cukup besar mengindikasikan omzet penjualan melambat sekalipun ada momentum lebaran. Dengan nilai persediaan yang masih tinggi ditambah lonjakan impor barang konsumsi, sulit berharap ada akselerasi pertumbuhan industri.
Hal ini semakin terkonfirmasi ketika melihat detail lonjakan komponen impor barang modal yang didominasi impor mesin dan pesawat mekanik (16,78 persen), mesin dan peralatan listrik (13,45 persen), serta besi dan baja (6,26 persen). Ketiga jenis barang itu lebih banyak untuk memenuhi proyek infrastruktur daripada ekspansi industri. Lonjakan impor bahan baku terbesar terjadi pada bahan kimia organik sebagai bahan baku industri farmasi.
Depresiasi rupiah jelas berdampak meningkatkan nilai bahan baku impor industri farmasi yang hampir semua bersumber dari impor. Namun, kinerja industri farmasi cenderung stagnan. Sebaliknya, impor bahan baku untuk industri makanan-minuman, seperti susu, mentega, telur, dan gula justru turun. Padahal, industri makanan dan minuman berkontribusi sekitar 30 persen dari industri nonmigas.
Disamping tekanan defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan pada triwulan II-2018 juga defisit 8 miliar dollar AS atau 3 persen produk domestik bruto (PDB). Akibatnya, sepanjang Januari-Juli 2018, cadangan devisa terkuras 11,9 miliar dollar AS, sehingga cadangan devisa pada akhir Juli 2018 tinggal 118,3 miliar dollar AS. Wajar jika respons kebijakan moneter tidak berdampak signifikan terhadap pengendalian depresiasi rupiah. Padahal, selama Januari-Agustus 2018, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen.
Tak ada pilihan lain, pengendalian impor memang harus dilakukan optimal. Keputusan pemerintah untuk menunda impor keperluan pembangunan infrastruktur sudah tepat. Meskipun, konsekuensinya terpaksa menunda proyek infrastruktur energi yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Termasuk, mengenakan pajak impor 7,5 persen terhadap barang yang memiliki substitusi impor. Juga mengurangi impor BBM melalui program mandatori B20, yaitu kewajiban mencampur 20 persen biodiesel ke dalam 1 liter solar.
Namun, rencana pengendalian 500 jenis barang impor juga harus dilakukan cermat dan berdasarkan data yang valid. Identifikasi dan pemilihan 500 jenis barang impor yang dikendalikan harus didasarkan pada kajian yang komprehensif. Jika salah sasaran, justru berpotensi menimbulkan tekanan inflasi bahan makanan dan produk industri. Bahkan, dapat berimplikasi mengganggu daya saing ekspor yang bisa berujung memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah harus belajar dan mengevaluasi struktur pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2018. Kendati mampu tumbuh 5,27 persen, namun mesin penggerak pertumbuhan hanya ditopang sektor konsumsi. Amunisi atau dopping dari peningkatan belanja pemerintah tidak mampu memberikan stimulus terhadap sektor riil. Akan tetapi, peningkatan konsumsi rumah tangga justru memberi konsekuensi membanjirnya barang impor. Akibatnya, peran investasi kembali berkurang, hanya tumbuh 5,87 persen dengan kontribusi yang turun menjadi 31,15 persen. Akselerasi konsumtif yang tanpa dibarengi pertumbuhan sektor produksi dalam negeri hanya menciptakan mesin pertumbuhan yang bersifat temporer, tidak mampu berkelanjutan.
Dengan demikian, harus ada upaya nyata untuk menggerakkan produktivitas industri dalam negeri agar mampu segera menciptakan lapangan kerja. Kebijakan pengendalian impor harus dilakukan secara proporsional. Satu sisi tidak memberikan tekanan beban terhadap bahan baku industri, namun efektif mengendalikan impor konsumsi untuk melindungi dan meningkatkan ketahanan industri dalam negeri. Jika kebijakan mendorong sektor riil ini gagal dilakukan, maka Indonesia akan masuk dalam jebakan stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Enny Sri Hartati
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance