JAKARTA, KOMPAS--Kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri meningkat seiring penurunan rasio pembayaran utang. Akan tetapi, rasio utang terhadap ekspor masih tinggi.
Rasio utang terhadap ekspor yang semakin tinggi menunjukkan kemampuan ekspor untuk membiayai utang luar negeri kian mengecil. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong penerimaan ekspor agar rasio utang terhadap ekspor dapat ditekan.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada Kompas, Rabu (22/8/2018), mengatakan, utang luar negeri Indonesia per akhir triwulan II-2018 cenderung sehat. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 34,34 persen, turun dari periode yang sama tahun lalu, sebesar 34,81 persen.
Rasio pembayaran utang pemerintah trennya juga turun, yaitu 24,34 persen, yang mengindikasikan kemampuan pemerintah membayar utang cenderung meningkat. "Namun, rasio utang terhadap ekspor pada triwulan II-2018 masih besar kendati turun, yaitu 160,43 persen. Pemerintah diharapkan meningkatkan penerimaan ekspor dengan tak lagi mengandalkan ekspor komoditas dasar, tetapi pada produk ekspor bernilai tambah tinggi," ujarnya.
Selain itu, lanjut Josua, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu mengatur utang luar negeri swasta yang berpotensi meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi atau pertumbuhan investasi swasta. Dalam pengelolaan utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan ulang, penjadwalan kembali, dan restrukturisasi utang, agar beban utang dapat didiversifikasi sesuai jatuh temponya.
Produktif
Menurut data utang luar negeri yang dirilis BI, utang luar negeri Indonesia per akhir Juni 2018 sebesar 355,74 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa, sebesar Rp 14.568 per dollar AS, utang itu setara Rp 5.182 triliun.
Utang luar negeri itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral 179,728 miliar dollar AS serta utang swasta 176,012 miliar dollar AS. Dari sektor ekonomi, utang luar negeri pemerintah paling banyak untuk administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib, sebesar 127,24 miliar dollar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, besarnya utang sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib menunjukkan utang antara lain digunakan untuk membiayai jaring pengaman kemiskinan, belanja pegawai, dan transfer dana daerah. "Artinya pemanfaatan utang luar negeri ke sektor-sektor produktif masih kurang," ujarnya.
Sementara itu, pemerintah mencairkan utang baru senilai 1 miliar dollar AS -setara Rp 14,568 triliun- dari Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Agustus ini. Pencairan utang diklaim mempertimbangkan perekonomian global dan stabilitas nasional.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Scenaider CH Siahaan mengatakan, utang akan digunakan untuk membiayai program prioritas pemerintah, antara lain pendidikan, kesehatan, dan reformasi birokrasi.
Pada 2018, ADB mengalokasikan pinjaman 2 miliar dollar AS bagi Indonesia, yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastuktur fisik dan nonfisik.
Menurut Scenaider, utang digunakan untuk belanja pemerintah yang sifatnya produktif, antara lain pembangunan infrastruktur, pembiayaan pilkada, dan program untuk kemakmuran dan kesejahteraan. “Penarikan utang sebagai konsekuensi untuk membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera,” kata Scenaider. (HEN/KRN)