JAKARTA, KOMPAS--Amerika Serikat menunda pengenaan retaliasi senilai 350 juta dollar AS terhadap Indonesia. Hal itu merupakan momen bagi Indonesia untuk memperkuat posisi negosiasi dalam memperjuangkan kepentingan nasional di kancah perdagangan internasional.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis (23/8/2018), sebesar Rp 14.620 per dollar AS, nilai retaliasi itu setara Rp 5,117 triliun.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita ketika berkunjung ke Kompas, Kamis, mengatakan, AS telah melayangkan surat ke Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 20 Agustus 2018. Surat itu perihal penundaan retaliasi penangguhan konsensi tarif dan kewajiban lainnya di bawah perjanjian tertutup. Artinya, AS tidak akan mengenakan tarif baru atas sejumlah produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Indonesia senilai 350 juta dollar AS.
“Dalam surat itu, AS menyatakan akan menangguhkan penunjukkan tim arbitrator dan proses arbritase kasus sengketa dagang produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Indonesia,” kata Enggartiasto.
Pada 2 Agustus 2018, AS mengajukan retaliasi berupa penangguhan konsesi tarif kepada WTO atas sejumlah produk Indonesia senilai 350 juta dollar AS. Melalui penangguhan itu, AS akan mengenakan tarif baru atas sejumlah produk Indonesia secara bertahap.
Sengketa dagang bermula pada 8 Mei 2014. AS bersama Selandia Baru mengajukan gugatan terhadap Indonesia kepada Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO. Kedua negara itu menilai kebijakan pembatasan impor Indonesia atas produk hortikultura, hewan, dan produk hewan bertentangan dengan Ketentuan Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) WTO 1994.
Dari hasil penyelidikan WTO, ada 17 tindakan Indonesia yang bertentangan dengan GATT. Pada 2017, AS mencatat kerugian pelaku bisnis mereka mencapai 350 juta dollar AS. Adapun kerugian pelaku bisnis menurut perhitungan Selandia Baru sebesar 673 juta dollar AS.
WTO merekomendasikan agar Indonesia menyesuaikan sejumlah regulasi. Indonesia telah menyesuaikan sejumlah regulasi tersebut secara bertahap. Tahap pertama paling lambat 22 Juli 2018 untuk peraturan setingkat menteri, seperti peraturan menteri perdagangan dan menteri pertanian terkait kententuan impor produk horitukultura, hewan, dan produk hewan.
Adapun tahap kedua paling lambat diselesaikan pada 22 Juni 2019 untuk merevisi undang-undang. UU yang akan direvisi adalah UU Pangan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Peternakan.
Melindungi
Menurut Enggartiasto, Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan regulasi sesuai rekomendasi WTO. Jika hal itu tidak dilakukan, Selandia Baru dan 22 negara lain juga akan melayangkan retaliasi terhadap Indonesia, sehingga kerugian Indonesia bisa lebih besar.
Akan tetapi, dipastikan, pemerintah tetap akan melindungi petani dan peternak Indonesia dengan cara tersendiri. Kemendag telah memanggil para importir untuk menghitung kembali dan membuat perencanaan kebutuhan impor.
“Importir yang telah diminta itu antara lain di sektor hortikultura, tekstil, minuman beralkohol, dan gula mentah. Nantinya, importir lain akan diminta melakukan hal yang sama. Kami juga akan mengatur jadwal memasukkan barang impor tersebut berdasarkan pantauan terhadap neraca perdagangan Indonesia,” kata dia.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Isu-isu Strategis Perdagangan Internasional Lili Yan Ing mengatakan, dalam pertemuan di Jenewa, Swiss, pada 14 Agustus 2018, Indonesia telah menyampaikan keberatan atas retaliasi AS. Sebab, Indonesia sudah memenuhi rekomendasi DSB WTO.
“Kami juga telah menyampaikan tabel mengenai sejumlah revisi yang telah dilakukan Indonesia atas 17 tindakan yang dinilai DSB WTO bertentangan dengan GATT, baik dalam bentuk surat maupun diplomasi,” ujar Lili. (HEN)