JAKARTA, KOMPAS--Di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global, strategi pembiayaan utang pemerintah tak cukup hanya mengandalkan pembiayaan di awal tahun. Penawaran kupon atau imbal hasil yang menarik perlu diberikan untuk memperdalam pasar keuangan domestik.
Pada 2019, utang jatuh tempo pemerintah Rp 409 triliun atau lebih tinggi dari 2018 yang sekitar Rp 390 triliun. Pembiayaan utang tahun depan dihadapkan pada tantangan lanjutan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed, penghentian pelonggaran likuiditas di Eropa dan Jepang, serta tekanan defisit neraca transaksi berjalan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, bunga surat utang yang ditawarkan akan lebih mahal seiring kenaikan suku bunga acuan The Fed. Apalagi, imbal hasil antara Surat Berharga Negara (SBN) dan obligasi AS atau US Treasury Bond melebar sejak awal tahun. Kondisi itu bisa memberatkan kinerja APBN di tahun berjalan. Alokasi bunga utang Rp 220 triliun per tahun.
“Jadi, pemerintah harus meningkatkan daya saing utang lewat penawaran kupon yang menarik,” kata Bhima yang dihubungi Kompas di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Untuk itu, strategi pembiayaan utang pemerintah dengan menarik utang yang banyak pada awal tahun belum cukup. Penjualan utang akan semakin sulit karena investor asing mengalihkan aset dari negara berkembang ke negara maju. Fenomena itu muncul akibat kekhawatiran invesor terhadap dampak dari krisis di Turki.
Bhima menilai, strategi pemerintah dalam penerbitan Savings Bond Ritel (SBR) sudah tepat dan perlu diperbanyak sehingga kepemilikan domestik bisa menggantikan kepemilikan asing. Namun, strategi lain tetap diperlukan, yakni lewat penawaran terbatas dan penerbitan obligasi alternatif, seperti Greenbond.
Secara terpisah, ekonom dari Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan, komposisi utang pemerintah masih didominasi surat berharga negara (SBN) ketimbang pinjaman. Kondisi itu menguntungkan karena pemerintah tak terjebak kepentingan politis dari pemberi pinjaman. Namun, beban utang SBN bisa membengkak karena imbal hasil bergantung kondisi pasar.
Berdasarkan data Kemenkeu, hingga Juli 2018, utang pemerintah per Juli 2018 sebesar Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51 persen dalam setahun. Jumlah itu terdiri dari SBN Rp 3.467,52 triliun, serta pinjaman dalam dan luar negeri Rp 785,49 triliun.
“Komposisi utang baru di masa depan idealnya dalam bentuk pinjaman. Dominasi SBN cukup berisiko di tengah ketidakpastian global,” kata Eric.
Sebelumnya, Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Scenaider CH Siahaan mengatakan, pembiayaan utang tahun 2019 cukup berat, antara lain akibat pelemahan rupiah yang berdampak pada kenaikan bunga utang. Namun, pemerintah optimistis utang jatuh tempo tahun 2019 bisa terbayar seiring kenaikan target pendapatan negara tembus yang Rp 2.142,5 triliun. (KRN)