Dari Limbah Jadi Berkelas
Usia paruh baya bukan penghalang bagi seseorang untuk berkarya. Demikian semangat hidup Nagawati Surya, perempuan di balik produk tas dan aksesoris berlabel "Threadapeutic". Threadapeutic memiliki makna terapi benang yang sejalan dengan gairah untuk tetap produktif.
Dimulai pada 2014, Nagawati Surya yang -kerap disapa Hana- mengolah spanduk dan karung goni bekas menjadi produk aksesoris mode nan cantik, seperti tas dan dompet. Permukaan produk itu diberi pemanis berupa lembaran kain perca dengan efek faux chenille.
Efek tersebut dihasilkan dari kumpulan kain perca yang ditata kemudian dijahit bersamaan secara sejajar. Selanjutnya, dipotong di antara garis jahitan tanpa melalui lapisan bawah. Permukaan kain menjadi berkontur dan berserabut lembut.
Hana menceritakan, langkahnya menjalankan label Threadapeutic bermula dari ketidaksengajaan. Pada awal 2014, dia diminta salah seorang temannya yang pegiat Indonesia Fashion Week (IFW) untuk membantu membuat cinderamata bagi peliput acara. Panitia IFW menantangnya berkreasi dengan bahan spanduk bekas dan kain perca yang sudah disediakan.
Dia lantas bereksperimen. Bahan-bahan itu dipotong dan dijahit sebagai tas. Kain perca berfungsi sebagai alas bagian dalam tas sekaligus hiasan pemanis.
Pada periode akhir 2014-Maret 2015, Hana memutuskan untuk lebih serius mengelola sampah menjadi mode. Jenis sampah yang digunakan adalah limbah kain perca industri mode, limbah kain sofa, konveksi garmen, baju bekas, kaos tak terpakai, spanduk bekas, sisa kain tenun, hingga karung goni.
"Untuk material, ada bahan yang kami bayar ke pemulung. Kami cari dan beli dari luar kota. Ada juga limbah kain yang kami terima cuma-cuma dari pelaku industri mode, sehingga seolah-olah kami mirip bank sampah," ujarnya.
Dia mengaku belajar menjahit sejak 1991. Hana, menjahit pakaian untuk anak-anaknya. Sisa kainnya dijahit menjadi dompet atau kantong untuk dipakainya sehari-hari. Tak ada niat mengkomersialkan hasil jahitannya.
Setelah anak-anaknya beranjak dewasa, Hana -yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga- ini merasa sudah saatnya menekuni keterampilan menjahit dan menjadikannya sebagai bekal usaha. Momen usahanya itu terbuka saat dia mendapat tawaran mengelola cinderamata tas bagi untuk IFW.
Khusus mengenai keahlian jahit untuk menghasilkan efek faux chenille, Hana belajar dari sepupunya yang seorang desainer. Teknik menjahit itu umumnya dipakai untuk menghasilkan baju hangat. Adapun bahan yang dijahit adalah kain perca berukuran lebar atau malahan kain utuh.
Untuk menghasilkan satu produk mode, Hana mengawalinya dari kain lebar yang terdiri dari rangkaian limbah kain. Setelah itu, baru dibuat efek faux chenille. Dia teliti memilih limbah untuk disusun menjadi perpaduan warna yang bagus. Untuk proses itu, diperlukan waktu hingga sepekan.
Pemasaran
Terkait pemasaran, Hana mengaku mengandalkan media sosial Instagram. Semula, kedua anaknya membantu memotret produk, menuliskan keterangan gambar, dan memproduksi videonya.
Pada awal berdiri hingga sekarang, dia rutin mengikutsertakan produknya ke sejumlah pameran produk kreatif, seperti The Local Market, Semasa Market, dan Happiness Festival. Tujuannya, meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai merek Threadapeutic. Kadang kala, Hana tidak berhasil menjual barang di pameran yang diikutinya, namun mendapat rekan bisnis baru.
Kini, selain dipasarkan lewat Instagram, produk Threadapeutic juga bisa ditemukan di dia.lo.gue, Kemang, Jakarta Selatan.
Perihal target pasar, Hana mengaku, ia membidik segmen kelas menengah yang peduli isu lingkungan berkelanjutan dan menyukai seni. Sebagian besar pembeli produk ini adalah ibu pekerja dan ekspatriat. Kendati demikian, pasar anak muda dari kelompok pekerja juga sudah mulai terjaring.
Keunikan produk mode Threadapeutic menarik mata beberapa desainer nasional. Misalnya, (X)SML yang digawangi Biyan, mengikutsertakan Threadapeutic dalam kegiatan Amazon Tokyo Week 2018. Di sana, Hana mengaku sepuluh produknya dibeli warga Jepang. Dia pun akhirnya mengerjakan permintaan pembeli Jepang.
Baru-baru ini, dia diajak berkolaborasi oleh Nonita Respati, Creative Director Purana, di peragaan busana Karya Kreatif Indonesia 2018 yang diselenggarakan Bank Indonesia. Beberapa tas Threadapeutic dipakai model berlenggak-lenggok di panggung. Sekarang, Hana juga mengelola limbah kain Purana.
Lingkungan
Isu penting dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan menjadi perhatian penting bagi Hana. Isu ini juga sebisa mungkin ia tularkan kepada pembeli produknya.
"Saya bilang kepada para pembeli, jika ada yang rusak, silakan barang dibawa kembali kepada kami. Kami akan perbaiki atau olah kembali. Jangan tergesa-gesa dibuang," tambah Hana.
Namun, di balik isu lingkungan berkelanjutan yang diusungnya, Hana juga berhadapan dengan tantangan tertulis dalam menjalankan bisnis kreatif. Tantangan itu adalah menjaga konsistensi usaha. Namun, Hana tak henti berupaya menjaga usahanya.
Selama hampir empat tahun berdiri, Hana memiliki tujuh karyawan. Di antara ketujuh orang itu, dia mengamati, salah seorang di antaranya menguasai seluruh proses produksi. Ada juga karyawan yang memahami teknik menghasilkan faux chenille. Dia berharap, keterampilan tersebut bisa dipakai para pekerjanya tersebut untuk berwirausaha kelak.
Dalam rangka mengembangkan produk, beberapa bulan terakhir Hana bereksperimen menggunakan teknik monumental textile arts. Caranya, beberapa lembar kain perca ditumpuk lalu sebagian permukaannya dijahit, sedangkan sisanya dibiarkan. Cara itu menghasilkan lembaran kain utuh bertekstur lebih tebal.
"Di dunia, industri mode mendapat sorotan tajam lembaga swadaya masyarakat karena dinilai tidak ramah lingkungan. Dorongan nol sampah terus disuarakan dan ada beberapa pemilik merek mode yang peduli. Saya kira industri mode susah mencapai nol sampah, namun Threadapeutic siap mengelolanya kembali menjadi produk," tambah Hana, percaya diri.