Memperingati Hari Perumahan Nasional, 25 Agustus, sejenak merenungkan soal pemenuhan perumahan di Indonesia. Papan termasuk salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia, yakni sandang, pangan, dan papan.
Hari Perumahan Nasional ditetapkan dalam Kongres Perumahan Rakyat di Bandung, 25-30 Agustus 1950. Kongres dihadiri peserta antara lain dari 63 kabupaten dan kotapraja, 4 provinsi, wakil Jawatan Pekerjaan Umum, utusan organisasi, pengurus partai, dan tokoh perorangan. Peristiwa itu mendasari penerbitan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 46 Tahun 2008 tentang Hari Perumahan Nasional.
Dalam kongres itu, Mohammad Hatta menyampaikan pemikirannya, bahwa pembangunan perumahan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia memerlukan proses panjang. Dengan demikian, perlu persiapan kelembagaan yang matang.
Perumahan bukan sekadar masalah fisik. Pada hakikatnya, rumah adalah tempat berlindung bagi keluarga. Dalam arti yang lebih luas, rumah adalah tempat membina generasi. Jika rumah tidak sehat, produktivitas masyarakat tidak maksimal.
Kenyataannya, lebih dari 80 persen pembangunan rumah di Indonesia dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Mereka membangun secara bertahap atau dikenal dengan konsep rumah tumbuh karena disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Namun, beberapa proyek properti di beberapa tempat yang diinisiasi pengembang terbukti turut mendorong pertumbuhan sebuah kota baru.
Sementara itu, menurut catatan pemerintah, angka kekurangan rumah berdasarkan kepemilikan sebanyak 11,4 juta unit, sedangkan angka kekurangan rumah berdasarkan kepenghunian 7,7 juta unit. Sementara, jumlah rumah tidak layak huni 3,4 juta unit. Diperkirakan, tambahan kebutuhan rumah 800.000 unit per tahun.
Menyediakan hunian yang layak kian menantang. Lahan terbatas, sedangkan jumlah manusia terus bertambah. Hal ini menjadi masalah yang mendasar. Tingkat urbanisasi yang tinggi membuat perebutan lahan di perkotaan kian ketat. Praktik spekulasi lahan turut melambungkan harga lahan.
Semua hal itu mengerek harga hunian, baik tapak maupun vertikal di perkotaan. Harga hunian kian mahal sehingga tidak lagi terjangkau masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah. Akibatnya, masyarakat kelompok ini hanya mampu membeli hunian di pinggir kota, bahkan di luar kota. Dampaknya, mereka harus menanggung ongkos transportasi yang semakin besar.
Bagi pengembang, membeli lahan di perkotaan memerlukan modal besar. Dengan besarnya investasi yang telah dikeluarkan itu, maka menjadi hal yang kian sulit unutk menjual produk rumah dengan harga murah.
Di titik ini, tingkat jangkauan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses rumah atau hunian masih rendah. Intervensi pemerintah untuk meningkatkan daya beli melalui beberapa skema pembiayaan baru bisa mencakup sebagian kelompok masyarakat. Itu pun, kebanyakan bagi yang bekerja di sektor formal.
Sebenarnya, pemerintah bukannya tidak mampu mendukung penyediaan rumah dengan harga terjangkau. Dukungan yang bisa dikerjakan antara lain memaksimalkan fungsi sebagai regulator untuk berbagai sektor dan pemangku kepentingan di sektor perumahan, yakni dalam pengadaan tanah, perizinan, konstruksi, pembiayaan, dan pemasaran.
Perlu konsep penyelenggaraan perumahan yang jelas di atas lahan yang disiapkan jauh-jauh hari. Dengan cara itu, tanah tak lagi dijadikan instrumen spekulasi.
Setahap demi setahap, persoalan kekurangan rumah di masyarakat dapat diselesaikan. Masyarakat bisa tenang memenuhi kebutuhan dasar mereka, yakni papan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA)