BELITUNG, KOMPAS — Implementasi kebijakan B20 mesti diupayakan agar benar-benar terlaksana. Pengecualian terhadap tiga sektor harus diikuti alasan yang rasional serta disertai tahapan untuk melaksanakan kebijakan pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam 1 liter solar itu.
Pengecualian jangan sampai menjadi pembenar untuk tidak melaksanakan kebijakan B20.
Tiga sektor yang dikecualikan dari kebijakan kewajiban B20 adalah alat utama sistem persenjataan, sebagian mesin pembangkit listrik, dan mesin alat tambang yang dioperasikan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Alasannya, evaluasi pemakaian biodiesel terhadap mesin-mesin bagi ketiga sektor tersebut belum tuntas.
”Alasan pengecualian harus bisa dijelaskan dan ada tahapan untuk dapat merealisasikan,” kata Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang yang dihubungi Jumat (24/8/2018).
Menurut Togar, produsen minyak sawit siap memasok kebutuhan biodiesel. Bahkan, produksi sawit bisa bertambah jika produktivitas ditingkatkan. Produksi minyak sawit saat ini sekitar 40 juta ton per tahun.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menambahkan, implementasi kebijakan B20 perlu terus didorong pada saat pasar ekspor minyak sawit menurun. Pasar yang turun itu antara lain di India akibat penerapan tarif bea masuk.
Penerapan kebijakan B20, lanjut Joko, dapat mengurangi defisit transaksi berjalan karena impor solar berkurang. Oleh karena itu, posisi industri minyak sawit perlu diperkuat.
Pemerintah memperkirakan, devisa yang dapat dihemat dari program B20 sebesar 2 miliar dollar AS pada tahun ini dan 4 miliar dollar AS pada 2019.
Dalam transaksi berjalan triwulan II-2018, neraca minyak defisit 4,4 miliar dollar AS.
Subsidi
Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safruddin menyampaikan, subsidi untuk menutup selisih harga biodiesel dengan solar masih dibutuhkan. Langkah ini merupakan upaya untuk mendorong pemanfaatan biodiesel sebagai sumber bahan bakar nabati.
Selain mekanisme subsidi, pemerintah dapat menerapkan cukai terhadap jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki indeks emisi tinggi. Dengan demikian, BBM beremisi tinggi harganya akan lebih mahal ketimbang biodiesel yang indeks emisinya rendah. Jika hal itu diterapkan, tidak menutup kemungkinan pencampuran biodiesel ke dalam solar tidak memerlukan subsidi lagi.
”Namun, pungutan ekspor minyak sawit atau CPO masih harus dipertahankan. Hasil pungutan ekspor itu dialokasikan untuk menyubsidi biodiesel seperti yang sudah dijalankan selama ini,” ujar Ahmad.
Kebijakan kewajiban B20 juga memberlakukan mekanisme denda. Besaran denda Rp 6.000 per liter solar yang dijual badan usaha tanpa dicampur biodiesel.
”Pengawasan pelaksanaan mandatori B20 oleh badan usaha dilakukan di bawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi,” ucap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto.
Pemerintah memutuskan pelaksanaan mandatori B20 untuk semua sektor berlaku per 1 September 2018 kecuali tiga sektor. Sektor-sektor yang wajib menerapkan mandatori B20 antara lain transportasi pelayanan publik (PSO) dan non-PSO, industri, bisnis komersial, serta pembangkit listrik.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, volume biodiesel yang diserap pada 2014 sebanyak 3,32 juta kiloliter (kl), yang turun menjadi 1,62 juta kl pada 2015. Volume biodiesel kembali melonjak pada 2016 sebanyak 3,65 juta kl dan turun menjadi 3,41 juta kl pada 2017. Tahun ini, target serapan biodiesel sebanyak 5,7 juta kl.