JAKARTA, KOMPAS Pemerintah memutuskan untuk merevisi peraturan tentang hunian berimbang. Nantinya, setelah direvisi, pembangunan hunian berimbang oleh pengembang rumah komersial akan diperbolehkan tidak dalam satu kabupaten atau kota, bahkan diperbolehkan beda provinsi.
“Peraturan menteri tentang hunian berimbang yang selama ini menjadi masalah adalah harus dibangun satu hamparan. Nanti akan diperbolehkan membangun rumah tapak di luar kabupaten, bisa satu provinsi atau bisa satu pulau. Itu bedanya,” kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Pembangunan rumah oleh pengembang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, terutama pasal 34, 35, 36, dan 37. Lebih lanjut, hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Disebutkan, konsep hunian berimbang mesti diwujudkan pengembang dalam satu hamparan dalam satu kabupaten atau kota, kecuali DKI Jakarta dalam satu provinsi.
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7/2013 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang pada pasal 9A ayat 2 menyebutkan, rasio hunian berimbang adalah 1:2:3. Artinya, setiap membangun 1 rumah mewah, pengembang mesti membangun 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana.
Ayat 6 di aturan yang sama menyebutkan, pembangunan rumah umum dapat dilakukan di luar hamparan asal tetap dalam kabupaten atau kota yang sama, kecuali DKI Jakarta.
Menurut Khalawi, selama ini, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat yang mengatur tentang pembangunan dalam satu kabupaten atau kota menjadi salah satu hambatan dalam penyediaan rumah. Dengan revisi tersebut, pengembang rumah komersial tetap diwajibkan untuk membangun rumah umum meski tidak harus dalam satu kabupaten atau kota. Namun, revisi hanya berlaku untuk rumah tapak. Adapun pembangunan hunian vertikal tetap harus dilaksanakan dalam satu kabupaten atau kota.
Masih digodok
Revisi tersebut masih digodok pemerintah. “Soal sanksi (bagi pengembang) untuk hunian berimbang juga akan dihilangkan. Saat ini masih berupa rancangan peraturan menteri. Akan segera diundangkan karena ini yang jadi masalah,” kata Khalawi.
Secara terpisah, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata menyambut positif rencana pemerintah tersebut. “Seluruh aturan kami harap difokuskan untuk pemenuhan rumah rakyat. Pengembang pada prinsipnya mengikuti aturan pemerintah yang sifatnya bisa diaplikasikan,” kata Soelaeman.
Menurut Soelaeman, pembangunan rumah di satu kabupaten atau kota tidak bisa diterapkan karena terkendala sejumlah hal, di antaranya lahan yang terbatas dan harga yang mahal. Padahal, pemerintah berharap, dengan hunian berimbang, pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat teratasi.
Menurut data pemerintah, angka kekurangan rumah berdasarkan kepemilikan 11,4 juta unit, sedangkan angka kekurangan rumah berdasarkan kepenghunian 7,7 juta unit. Diperkirakan tambahan kebutuhan rumah 800.000 unit per tahun.
Soelaeman menambahkan, jika pengembang besar ikut membangun rumah subsidi, sama dengan mematikan pengembang kecil yang tersebar di daerah. Sebab, rumah subsidi kebanyakan dibangun pengembang kecil.
Dengan revisi peraturan tersebut, kolaborasi antara pengembang besar dengan pengembang kecil untuk membangun rumah subsidi bisa dijalankan secara lebih masif. Pengembang besar bisa menyediakan lahan. Sementara, yang membangun adalah pengembang kecil. Kolaborasi seperti itu telah diwujudkan anggota REI di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.
“Bagi pengembang besar perlu kepastian ini sebagai bagian dari konsep hunian berimbang,” ujar Soelaeman. (NAD)