Negara-negara di Eropa sudah lama menerapkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari beberapa sumber, seperti tenaga angin, tenaga air, dan minyak nabati kelapa sawit. Kendati parlemen Eropa dalam arahan energi terbarukan menegaskan, penggunaan minyak nabati dalam bauran energi harus memperhatikan aspek lingkungan hidup dan masalah perusakan hutan, saat ini minyak nabati dari kelapa sawit atau biodiesel tetap masih terbuka di pasar Eropa.
Sekarang, pemerintah Indonesia menginginkan percepatan dan perluasan penggunaan minyak sawit sebesar 20 persen dalam bahan bakar minyak atau B20. Kebijakan itu diputuskan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Kompas, 20/7).
Selama ini, implementasi kebijakan B20 masih lambat karena berbagai faktor. Salah satunya, mengenai kemauan, apakah ingin mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM), terutama solar, atau tidak.
Mengimpor biasanya menjadi cara paling mudah dan menguntungkan dalam menutup kekurangan pasokan di dalam negeri. Namun, di sisi lain, impor BBM yang terlalu besar membuat defisit transaksi berjalan membengkak.
Sebagai gambaran, defisit transaksi berjalan triwulan II-2018 sebesar 8 miliar dollar AS atau 3,04 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan I-2018, defisit transaksi berjalan sebesar 5,7 miliar dollar AS atau 2,21 persen PDB.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah berupa mandatori B20 -pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam satu liter solar- merupakan langkah tepat dan harus diikuti semua pemangku kepentingan, baik kementerian teknis seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, PT Pertamina (Persero), maupun pelaku usaha.
Defisit transaksi berjalan sudah menjadi momok bertahun-tahun dengan kontribusi besar dari impor BBM dan bahan baku industri. Untuk itu, berbagai upaya untuk bertransformasi dalam penggunaan energi baru dan terbarukan, terutama dari minyak nabati kelapa sawit, harus dipacu. Indonesia tidak bisa terus-menerus tergantung pada impor BBM dan energi fosil.
Kebijakan percepatan dan perluasan penggunaan minyak sawit atau mandatori B20 ini dapat menjadi kampanye positif bagi negara-negara Eropa. Selain itu, percepatan dan perluasan penggunaan B20 di Indonesia diharapkan dapat mempengaruhi harga kelapa sawit di tingkat dunia. Dengan demikian, Indonesia semakin memiliki posisi tawar yang kuat dalam perdagangan, terutama terkait dengan kebutuhan produk minyak sawit dan biodiesel.
Jika implementasi B20 diterapkan secara penuh, setidaknya sekitar 6 juta kilo liter biodiesel terserap di dalam negeri. Penyerapan sebanyak itu di pasar domestik diharapkan dapat memengaruhi harga minyak sawit di pasar dunia. Saat ini, ketika pelaksanaan B20 belum maksimal, penyerapan hanya sekitar 2,5 juta kilo liter.
Jika kebijakan B20 terlaksana penuh, pemerintah setidaknya bisa menghemat impor solar sekitar 4 miliar dollar AS. Penghematan dari kebijakan B20 itu tentu sangat berarti untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu, tak ada cara lain, mandatori B20 mesti diterapkan dengan tegas. (Ferry Santoso)