Pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia ada di negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2018, ekonomi negara-negara berkembang akan tumbuh 4,9 persen sepanjang 2018. Perekonomian negara-negara maju diperkirakan tumbuh 2,5 persen. Pola serupa sudah terjadi dalam 10 tahun terakhir.
Pertumbuhan ini antara lain didorong arus masuk dana-dana asing. “Dalam 10 tahun terakhir dana asing membiayai pusat-pusat perbelajaan di Istanbul (Turki), mendorong perkembangan kota-kota di China bahkan menjadi sumber dana untuk pembelian obligasi terbitan pemerintah Argentina berjangka 100 tahun,” demikian dikatakan Robert Subbaraman, pakar ekonomi negara berkembang dari Nomura cabang Singapura, seperti dikutip The New York Times, 12 Juli 2018.
Profesor ekonomi dari Yale University Stephen Roach pada 31 Juli lalu di Project Syndicate menuliskan efek kebijakan uang murah di negara-negara maju periode 2008-2013 menyebabkan uang mengalir hingga ke negara-negara berkembang.
Hanya saja situasi berubah sejak 2013. Negara-negara berkembang direpotkan dengan isu pelarian modal asing. Laporan ABN-AMRO pada 29 Mei 2018 mengutip data dari Institute of International Finance (IIF) memperlihatkan pelarian modal netto 431 miliar dollar pada 2015 dan sebanyak 284 miliar dollar AS pada 2016. Hingga 2018 ini,pelarian modal terus terjadi walau diimbangi dengan arus modal masuk.
Hanya pada pada Mei 2018 terjadi pelarian modal bulanan sebesar 12,3 miliar dollar AS, menurut Bloomberg, 6 Juni 2018, yang juga mengutip data IIF. Pelarian bulanan pada Mei 2018 itu adalah yang terbesar sejak November 2016.
Pelarian ini memerosotkan kurs negara-negara berkembang. Kemerosotan kurs akibat pelarian modal telah membuat Argentina meminta bantuan dana talangan 50 miliar dollar AS dari IMF. Turki dan sejumlah negara berkembang lainnya juga telah dibuat repot dalam rangka mempertahankan kestabilan kurs. Pelarian modal ini terjadi walau situasi ekonomi makro negara-negara berkembang tetap baik, seperti dituliskan harian Inggris The Financial Times, edisi 20 Juli 2018.
Pelarian modal ini terjadi walau situasi ekonomi makro negara-negara berkembang tetap baik.
Investor canggih
Prediksi pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang tetap tinggi hingga beberapa tahun ke depan dengan penduduk muda yang energik. Namun keadaan ini tetap tidak mampu membuat modal asing bertahan, dan malah memberi ancaman pada stabilitas kurs dan pertumbuhan ekonomi.
Mengapa demikian? Michael Spence, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 memberikan sedikit penjelasan pada 24 Agustus lewat artikel berjudul “Emerging Vulnerabilities in Emerging Economies”.
Permasalahannya adalah jenis modal asing yang masuk ke negara-negara berkembang bukan hanya berupa penanaman modal langsung. Di dalamnya ada investor portofolio berjangka pendek seperti investasi di saham dan obligasi.
Di antara investor portofolio ini ada investor canggih, demikian Spence menuliskan. “Para investor canggih tidak memasukkan variabel pertumbuhan ekonomi sebagai penentu keuntungan investasi,” lanjut Spence.
Keuntungan investasi tergantung pada valuasi aset-aset keuangan, di dalamnya termasuk efek perubahan kurs. Inilah salah satu hal yang paling diperhitungkan. Hanya model teori sederhana yang memasukkan pertumbuhan ekonomi sebagai penentu keuangan investasi.
Spence menambahkan, hampir semua investor asing di sektor keuangan tidak peduli dengan prospek jangka panjang perekonomian negara-negara berkembang. Agen-agen mereka, yakni para investor canggih itu, tidak akan mendapatkan bonus atau imbalan berdasarkan kinerja jangka panjang.
Bonus dan imbalan yang diharapkan para agen investor canggih ini bisa didasarkan pada pergerakan harga-harga saham atau pergerakan kurs secara harian. Maka dari itu para investor kategori ini sangat memerhatikan ketidakseimbangan ekonomi dan memperhatikan risiko kecil investasi sekecil apapun risiko itu.
Risiko kecil yang sifatnya harian apalagi bulanan akan membuat investor kalangan ini bisa secepat mungkin menarik modalnya kembali. Ini sesuai dengan tulisan Robert Subbaraman, “Nikmati pesta tetapi siaga di pintu keluar.”
Artinya, asing memasuki pasar negara-negara berkembang untuk perolehan keuntungan cepat dan buru-buru lari jika dianggap merugikan secara harian, bahkan hitungan jam atau menit.
Jika misalnya kurs rupiah terancam merosot dari Rp 14.000 dollar AS ke level Rp 14.500 per dollar AS, investor canggih segera mengamankan dana investasinya. Dana investor ini yang sudah sempat ditukarkan ke dalam rupiah, untuk membeli saham atau obligasi misalnya, ditukarkan kembali ke dalam dollar AS. Inilah salah satu penyebab tekanan pada kurs rupiah.
Dan hal seperti inilah yang menimpa banyak negara-negara berkembang lainnya. Walau pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang tinggi dari tahun ke tahun, potensi pelarian modal tetap terjadi.Keadaan ini sudah terbukti sejak 2013, saat Bank Sentral AS mulai menaikkan suku bunga untuk pengetatan uang beredar.
Oleh sebab itu, pesan Spence dan Subbaraman adalah, negara-negara berkembang mutlak menjaga rambu-rambu, seperti besaran utang, besaran kewajiban luar negeri dengan kekuatan cadangan devisa dan faktor lainnya. Iming-iming soal prospek keuntungan dalam jangka panjang tidak akan mampu membuat investor canggih bertahan.
Dan dengan posisi bank-bank sentral negara maju, seperti Inggris, Jepang dan AS, yang ingin menaikkan suku bunga, kerawanan pelarian modal semakin tinggi. Situasi ini memaksa negara-negara berkembang harus berpikir keras.
Intinya, jangan hanya terbuai atau bangga dengan arus modal asing yang masuk. Pikirkanlah potensi pelarian modal mendadak yang bisa menyesakkan dan berpotensi merugikan diri sendiri. (AFP/AP/REUTERS)
Iming-iming soal prospek keuntungan dalam jangka panjang tidak akan mampu membuat investor canggih bertahan.