UNGARAN, KOMPAS - Petani kopi Gunung Kelir di Desa Kelurahan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, bertekad menjadikan tradisi petik kopi awal panen sebagai bagian dari destinasi wisata kawasan segitiga Gedongsongo, Museum Kereta Api Ambarawa, dan Stasiun KA Bergerigi, Bedono. Untuk kelima kalinya mereka menggelar Festival Panen Raya, Sabtu-Minggu (25-26/8/2018), untuk menyatukan masyarakat dan menguatkan kebersamaan guna peningkatan ekonomi desa.
Kepala Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Suparno mengemukakan, festival dikemas oleh warga, petani kopi, dan pemuda-pemudi karang taruna setempat agar menjadi peristiwa pariwisata penting di jalur lintas utama Semarang-Yogyakarta.
”Sengaja pada festival kali ini petani kopi tidak membuat gunungan kopi, tetapi diganti dengan festival jajanan deso, seperti nasi jagung, tiwul, sawut, juga tahu campur, supaya atmosfer jajanan tempo dulu menjadi pesona bagi pengunjung festival ini, terutama dari luar Jawa Tengah. Mereka bisa merasakan suasana dan kuliner desa,” ujar Suparno.
Festival Panen Raya berlangsung di pelataran Kedai Kopi Sirap di lembah kebun rakyat kopi Gunung Kelir. Satu kilometer dari gerbang masuk desa, kemeriahan festival sudah terasa. Sepanjang jalan desa dipenuhi hiasan. Ada juga kedai kopi yang menampilkan kopi dalam bentuk biji di dalam stoples.
Untuk masuk festival, pengunjung cukup menikmati satu cangkir kopi seharga Rp 5.000 yang disiapkan oleh komunitas Peduli Kopi, komunitas anak-anak muda pencinta kopi dari sejumlah desa di Kabupaten Semarang.
Pengunjung juga diajak memetik kopi, mengolah kopi, dan menikmati kesenian desa.
Diakui internasional
Suparno mengatakan, Gunung Kelir telah diakui dunia internasional sebagai penghasil kopi organik varian Java Mocha. Satu hektar lahan ditumbuhi 1.600 pohon kopi yang tahun ini menghasilkan 10 kilogram kopi per pohon biji basah. Harga kopi kering dari pengolahan petani rata-rata di atas Rp 30.000 per kilogram.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Kopi Gunung Kelir Ngadiyanto mengatakan, panen raya kopi tahun ini bisa mencapai lebih dari 500 ton. Hasil itu diperoleh setelah petani mengubah perawatan kopi menggunakan bahan organik.
Sejauh ini, festival masih dikemas di lingkup desa untuk lebih mengguyubkan petani, pelaku usaha, dan masyarakat. ”Jika masyarakat sudah bersatu dan punya kebersamaan, akan ada kekuatan yang besar untuk menyiapkan Dusun Sirap, Desa Kelurahan, sebagai destinasi wisata kopi,” ujar Ngadiyanto.
Tim lintas fakultas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang melakukan survei kopi Gunung Kelir melihat pengelolaan kopi petani sampai pengolahan sudah bagus. Mereka menghasilkan kopi olahan berkualitas ekspor. ”Kami juga membantu warga mengembangkan kegiatan wisata kopi,” ujar Kautsar, mahasiswa Fakultas Pertanian UGM.
Camat Jambu Eko Sukarno menyatakan, kawasan Gunung Kelir berpotensi menjadi kawasan wisata terkait rencana pemerintah membuat jalan tol rute Semarang-Yogyakarta yang melintasi Ngampin-Bedono. (WHO)