Ketika Kebun Kakao Tak Lagi Merana
Kakao sesungguhnya menjadi komoditas unggulan negeri ini, tetapi selama ini cenderung terabaikan. Petani seolah berjuang sendiri menghadapi masalah. Produktivitas pun anjlok. Kini, masalah itu mulai teratasi.
Hingga tiga tahun lalu, kebun kakao bagi warga Desa Kuajang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, hanyalah sekadar kebun berisi tanaman kakao. Hasilnya pun lebih sering pas-pasan saja. Kini, dari lahan yang sama, petani menikmati hasil dari berbagai komoditas yang mendongkrak kesejahteraan mereka.
Kakao sejak lama merupakan komoditas perkebunan primadona di Polewali Mandar (Polman). Pada dekade 1990-an, petani menikmati era keemasan. Namun, kini produktivitas lahan terus menyusut akibat tanaman tua dan serangan hama, menjadi hanya 300-400 kg per hektar.
Bagi petani yang kebetulan memiliki tanaman duku atau durian, bisa berharap penghasilan tambahan dari komoditas ini. Ada pula beberapa petani yang beternak kambing di kolong rumah panggung. Yang tidak memiliki sumber komoditas lain hanya bisa pasrah atau mencari pekerjaan serabutan.
Hingga kemudian peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Alam (Puslitbang SDA) Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, datang membawa program optimalisasi lahan kakao ke daerah itu. Program yang bekerja sama dengan Ford Foundation itu bertujuan membuat petani mendapatkan penghasilan tambahan dari beragam komoditas yang dikelola di lahan yang sama.
Ide ini awalnya dipandang sebelah mata. Namun, siapa sangka, kebun-kebun kakao petani kini tidak lagi sekadar menghasilkan kakao, tetapi juga pisang, cabai, beternak kambing, sapi, hingga memproduksi pupuk, biogas, dan bubuk cokelat. Produktivitas lahan kakao pun meningkat menjadi 500-600 kilogram per hektar.
”Dulu kami panen raya kakao dua kali setahun. Selebihnya panen kecil-kecil. Kalau tidak ada panen, kami biasanya pergi mencari penghasilan lain dengan kerja serabutan. Akhirnya, tanaman tak terawat karena jarang dipangkas dan dibersihkan. Hasil panen tidak banyak. Namun, sekarang alhamdulillah, banyak hasil dari kebun dan tanaman kakao jadi lebih subur karena sering dirawat,” kata Sahabuddin, Ketua Kelompok Tani Ternak Terintegrasi di Kuajang, Jumat (17/8/2018).
Pusat aktivitas
Program optimalisasi lahan kakao yang dibawa tim peneliti Unhas menjadikan kebun kakao sebagai pusat berbagai aktivitas agar petani kembali merawat tanaman kakao. Menanam beragam tanaman lain tak berdampak negatif pada kakao. Sebaliknya, tanaman tertentu, seperti pisang, justru memberi dampak positif karena sifat tanaman ini yang menyimpan air membuat kebun tak pernah mengalami kekeringan hebat.
”Sekarang hampir semua aktivitas dilakukan di kebun. Ini memang yang diharapkan karena dengan sendirinya tanaman kakao akan turut dirawat. Dulu, saat tak ada panen, kebun hampir tak pernah ditengok. Itulah mengapa upaya pengendalian hama kakao sulit memberi hasil optimal sehingga hasil kakao pun turun. Petani hanya berharap mendapat penghasilan lebih saat harga kakao tinggi,” kata Sikstus Gusli, Kepala Puslitbang SDA Unhas.
Salah satu petani yang sukses adalah Abdullah (50). Di kebun seluas 1 hektar miliknya, kini tidak hanya kambing, tetapi juga pisang dan pepaya. Sekeliling kebun pun berjejer tanaman jati ambon, lamtoro, dan gamal.
Abdullah bersama rekan kelompoknya kini juga mengelola usaha pupuk cair dari air seni kambing. Usaha ini memberi efek domino bagi perekonomian desa karena mereka juga membeli air seni kambing dari peternak sekitar. Air seni kambing dibeli dengan harga sekitar Rp 2.000 per liter untuk kemudian diolah, difermentasi, dikemas, dan dijual Rp 25.000 per botol berukuran 1.000 mililiter.
Pesanan pun mengalir, termasuk dari luar Polman, tetapi belum semua bisa dipenuhi. ”Tidak hanya menjadi pupuk, air seni kambing ini ampuh menghilangkan lumut dan jamur pada batang kakao,” kata Abdullah.
Lain lagi Sahabuddin yang memproduksi pupuk organik padat yang diolah dari kotoran sapi, kambing, dan dedaunan hasil pangkasan dari kebun. Pupuk dijual Rp 20.000 per sak ukuran 25 kilogram.
Selain mendapat penghasilan tambahan, kebun-kebun pun kini bersih. Petani kini juga nyaris tak lagi mengeluarkan biaya untuk memupuk tanaman. Sebelumnya, petani harus mengeluarkan dana hingga Rp 1 juta per hektar untuk membeli pupuk.
Pro-kontra
Saat pertama kali membawa program ini ke Kecamatan Binuang, Sikstus mengaku menghadapi pro-kontra. Namun, hal ini disikapi dengan memilih petani yang bisa diajak bekerja sama. Sebanyak 25 orang bersedia mencoba dan kemudian membentuk satu kelompok.
Sikstus menjelaskan, kelompok itu awalnya diberi bantuan 25 kambing untuk dikelola bersama. ”Kami ajari memindahkan kandang ke kebun. Ini penting bagi kesehatan lingkungan ketimbang memelihara kambing di kolong rumah,” ujarnya.
Pendampingan pun terus dilakukan tim peneliti Unhas hingga semua bisa mandiri. Keberhasilan kelompok petani ini pun menyebar dan menjadi inspirasi bagi petani lain untuk melakukan hal sama. Saat ini, praktik optimalisasi lahan kakao sudah menyebar di tiga kecamatan lain, yakni Anreapi, Tapango, dan Tutar.
Salah satu yang turut menangkap praktik mengelola kebun secara cerdas ini adalah Supriadi, warga Kecamatan Anreapi. Dia mengajak petani lain membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Harapan. Melalui pendampingan tim Puslitbang SDA Unhas dan diberi modal awal 27 kambing, kelompok ini terus berkembang.
”Jumlah kambing sekarang sudah lebih dari 100 ekor. Kami juga punya usaha lain, yakni menanam cabai. Hasilnya bagus dan pasarnya ada. Sebelumnya, kami tak pernah berpikir bahwa dari lahan yang sama kami bisa punya banyak penghasilan,” kata Supriadi yang juga Ketua Kelompok Tani Tunas Harapan.
Sukses dengan cara ini tak membuat petani berpuas diri. Melalui kelompok-kelompok yang dibentuk, mereka aktif berkumpul, berdiskusi, dan memikirkan beragam kreasi ataupun solusi.
Salah satunya adalah memanfaatkan tanaman lontar yang banyak tumbuh di kebun kakao di perbukitan. Potensi nira dari lontar awalnya hanya diolah menjadi tuak manis atau gula merah. Namun, kini petani sudah mengolahnya menjadi gula semut (palm sugar).
Tidak hanya lontar, wilayah sekitar Kuajang juga menjadi habitat lebah madu jenis trigona. Sejak setahun terakhir, madu menjadi komoditas penambah penghasilan bagi warga yang juga diupayakan di kebun kakao. ”Selain mendapat madu, lebah juga membantu penyerbukan bunga kakao dan tanaman lain,” kata Annas, petani yang mengelola produksi madu hutan.
Kreativitas dan inovasi juga dilakukan kaum perempuan. Mereka melakukan fermentasi kakao dan mengolahnya menjadi bubuk cokelat. Bubuk tersebut selanjutnya dibuat menjadi kue kering cokelat kacang dalam kemasan.
Berbagai praktik cerdas itu membuat kebun kakao kini tidak lagi merana. Para petani ini pun kembali tersenyum.