Indonesia mengekspor minyak dan mengimpor minyak. Akan tetapi, nilai impornya lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspornya, sehingga Indonesia disebut sebagai pengimpor bersih minyak. Dengan kata lain, neraca minyak Indonesia defisit.
Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, defisit neraca minyak semakin dalam, setidaknya sejak 2010. Pada 2010, defisit neraca minyak 8,653 miliar dollar AS. Namun, pada 2015, defisit neraca minyak menjadi 13,105 miliar dollar AS. Defisit sebesar itu bersumber dari impor minyak 20,938 miliar dollar AS, yang tidak bisa ditutup dengan ekspor minyak yang sebesar 7,832 miliar dollar AS.
Pada 2016, defisit neraca minyak berkurang menjadi 9,679 miliar dollar AS. Akan tetapi, pada 2017 berbalik lagi semakin dalam, menjadi 12,816 miliar dollar AS.
Pada triwulan I dan II tahun 2018, neraca minyak defisit, yang masing-masing sebesar 4,062 miliar dollar AS dan 4,363 miliar dollar AS. Total defisit pada 6 bulan pertama tahun ini saja sudah nyaris sebesar defisit pada 2010. Defisit neraca minyak pada Januari-Juni 2018 sebesar 8,425 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (28/8/2018), yakni Rp 14.610 per dollar AS, defisit neraca minyak pada semester I-2018 itu setara Rp 123 triliun.
Penyebab utama nilai impor minyak membesar adalah harga minyak yang semakin tinggi seiring dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang melemah. Adapun harga minyak berdasarkan data di laman Bloomberg, Selasa (28/8) malam, sebesar 68,79 dollar AS per barrel untuk WTI dan 76 dollar AS per barrel untuk Brent.
Posisi defisit ini bisa dimaknai sebagai kemampuan menghasilkan devisa yang lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan terhadap devisa. Dengan kondisi perekonomian dunia yang masih diliputi ketidakpastian, diperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih akan tetap seperti saat ini. Pemerintah, dalam Rancangan APBN 2019, menetapkan asumsi nilai tukar Rp 14.400 per dollar AS. Harga minyak dunia juga diperkirakan masih dalam kisaran seperti saat ini. Maka, kebutuhan devisa untuk membiayai impor akan tetap besar.
Sekadar mengingatkan, pada Januari 2013, Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan, pernah menginstruksikan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk tidak mencari dollar AS di pasar uang. Hal itu disepakati Dahlan Iskan dan Gubernur Bank Indonesia saat itu, Darmin Nasution. Tujuannya, memperkuat nilai tukar rupiah. Alih-alih mencari dollar AS dalam jumlah besar di pasar tunai, Pertamina dan PLN diminta menyampaikan kebutuhan valasnya kepada tiga bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Kemudian, ketiga bank itu akan mendapatkan valasnya dari BI, tak lagi mencari valas di pasar uang. Saat itu, kebutuhan Pertamina sekitar 200 juta dollar AS per hari atau sepertiga dari peredaran dollar AS di pasar uang.
Saat ini, beberapa tekanan bergabung menjadi satu. Tekanan eksternal antara lain berupa rencana Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuannya dan perang dagang AS-China.
Di Indonesia, defisit transaksi berjalan yang kian dalam turut menjadi sentimen negatif. Pada triwulan I-2018, transaksi berjalan defisit 5,717 miliar dollar AS. Adapun pada triwulan II-2018, defisit menjadi 8,028 miliar dollar AS.
Di sisi lain, defisit APBN 2018 yang terjaga menjadi sentimen positif. Reaksi pasar saham bereaksi positif menanggapi kondisi defisit APBN yang terjaga itu.
Di sini, hukum permintaan dan penawaran berlaku. Kondisi transaksi berjalan yang defisit dan kebutuhan Indonesia akan investasi langsung dan portofolio menunjukkan permintaan Indonesia terhadap dollar AS yang tinggi. Padahal, kemampuan menyediakan dollar AS, antara lain melalui devisa ekspor, terbatas.
Akibatnya bisa ditebak, permintaan yang melampaui suplai akan berdampak pada harga yang mahal. Dollar AS menjadi mahal.
Dalam situasi ini, tak bisa hanya mengandalkan intervensi Bank Indonesia. Perlu langkah berkelanjutan agar situasi serupa tak terulang. Langkah yang mestinya segera direalisasikan, bukan hanya hitung-hitungan di atas kertas.
Untuk tahap awal, pemerintah memastikan pelaksanaan mandatori B20 atau kewajiban mencampurkan 20 persen biodiesel ke dalam tiap liter solar. Tahap berikutnya, pemerintah menyisir barang-barang impor yang bisa dikurangi. Semoga kebijakan ini tidak hanya hangat di depan, namun dingin di kemudian hari. (Dewi Indriastuti)