Infrastruktur Masih Jadi Kendala
JAKARTA, KOMPAS--Tata kelola gas nasional terkendala keterbatasan infrastruktur. Padahal, konsumsi gas dalam negeri terus meningkat, sehingga mata rantai pasokan yang efisien perlu dikelola dengan baik.
Penyelesaian persoalan itu melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
"Panjangnya mata rantai pasokan gas bumi di Indonesia menciptakan inefisiensi. Oleh karena itu, dibutuhkan investasi untuk infrastruktur gas nasional seiring berkembangnya permintaan," kata Direktur Pemasaran Korporat PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra dalam pidatonya pada diskusi bertajuk "Indonesia Oil and Gas Holding Company: Challenges & Opportunities", Selasa (28/8/2018), di Jakarta.
Untuk mengatasi masalah inefisiensi tersebut, lanjut Basuki, keputusan menggabungkan PT Pertamina Gas atau Pertagas, anak usaha Pertamina, dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN adalah salah satu upaya yang ditempuh. Dengan bidang bisnis yang sama, Pertagas dan PGN sebaiknya tidak terpisah, justru harus dilebur. Peleburan Pertagas ke PGN, lanjut dia, dapat memperbaiki pasokan dan distribusi gas domestik.
"Dengan penggabungan ini, jaringan pipa gas yang kami punyai lebih dari 9.600 kilometer. Ini yang terpanjang di Asia Tenggara. Volume gasnya mencapai 2.627 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD)," ujar Basuki.
Peleburan Pertagas ke dalam PGN merupakan bagian dari pembentukan perusahaan induk minyak dan gas bumi, dengan Pertamina sebagai perusahaan induk. Perusahaan induk diyakini dapat memperkuat struktur keuangan perusahaan, menciptakan efisiensi, dan bisnis tumbuh secara lebih agresif. Bagi investor, pembentukan perusahaan induk dapat meningkatkan keuntungan dan stabilitas investasi.
Sementara itu, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media pada Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, menambahkan, tantangan industri gas dalam negeri antara lain rantai nilai gas yang belum maksimal, harga gas industri yang bervariasi, ketimpangan distribusi akibat infrastruktur yang belum terintegrasi, serta duplikasi investasi infrastruktur gas sehingga tak efisien.
Soal harga gas industri yang belum seluruhnya menikmati penurunan harga seperti dalam amanat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, menurut Fajar, penurunan harga yang dimaksud adalah di hulu. Pihaknya berusaha menurunkan harga gas di tahap pengangkutan dan harga ke konsumen akhir. Hal itu merupakan strategi awal konsolidasi peleburan Pertagas ke dalam PGN.
Mengacu pada Perpres tersebut di atas, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu hanya dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Kilang minyak
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, pasokan gas dari Indonesia sebenarnya bisa dibilang cukup. Akan tetapi, nilai tambahnya sulit ditingkatkan lantaran keterbatasan fasilitas kilang minyak untuk mengubah gas menjadi produk petrokimia. Pemerintah bersama Pertamina harus bekerja keras mewujudkan program peningkatan kapasitas kilang dan pembangunan kilang baru.
"Memang, infrastruktur masih menjadi kendala dalam tata kelola gas bumi nasional. Oleh karena itu, rencana pembangunan kilang harus terus didorong sampai terwujud," kata Achmad.
Progres pembangunan kilang, tambah Fajar, masih terkendala pembebasan lahan. Pihaknya optimistis masalah itu bisa tuntas dalam waktu dekat. Menurut dia, pemerintah bersama Pertamina bekerja keras mengurai segala hambatan pembangunan kilang baru.